Jumat, 13 Maret 2015

Westphalian System



Nama   : Ansor Budiman
NIM     : 1302045098
Westphalian System





Pendahuluan
Perjanjian Westphalia dilaksanakan pada tahun 1648 dilatar belakangi oleh Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648) di Kekaisaran Romawi Suci dan Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648) antara Spanyol dan Republik Belanda membawa dampak yang besar bagi dunia dengan konsep negara-bangsa.
Perjanjian ini ditandai oleh dua peristiwa besar yang pertama adalah penandatanganan Perdamaian Münster antara Republik Belanda dan Kerajaan Spanyol pada tanggal 30 Januari 1648 dan yang kedua Penandatanganan dua perjanjian komplementer pada tanggal 24 Oktober 1648, yaitu Traktat Münster dan Traktat Osnabrück

Disamping menjadi akhir dari perang yang sudah berlangsung selama 30 tahun, Perjanjian Westphalia juga telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi di Eropa, Perjanjian perdamaian tersebut juga telah mengakhiri ke Kaisaran Romawi yang suci, dan Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional masing-masing negara

Westphalian System

Perjanjian Westphslia adalah hasil kongres diplomatik besar, sehingga menciptakan sistem tatanan politik baru di Eropa Tengah yang kelak disebut sebagai Westphalian System atau Sistem Westhphalia yang merujuk juga pada  kedaulatan Westphalia.
Dengan munculnya negara-bangsa sebagai aktor yang dominan dalam setiap perilaku politik hubungan internasional maka konsepsi tatanan sistem negara ini merupakan pola kehidupan internasional selama tiga abad. Di masa sekarang hal tersebut masih merupakan pola yang dominan yang tetap berlaku. Ada beberapa hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari sistem negara yang ada, yang kemudian membuat negara-bangsa menjadi aktor dominan serta bergerak sendiri tanpa ada pengaruh dari luar, yaitu:
1.        Nasionalisme, yang bisa didefinisikan sebagai persepsi identitas seseorang terhadap suatu kolektivitas politik yang terorganisasi secara teritorial, nilai psikologi atau spiritual yang mempersatukan penduduk dari suatu negara dan menimbulkan kehendak pada mereka untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan negaranya.
2.        Kedaulatan Nasional, yaitu teori hukum yang memberikan negara kekuasaan yang tidak terbatas atas semua kepentingan, baik itu di dalam negeri maupun dalam hubungannya dengan negara-negara lain.
3.        Kekuatan Nasional, yaitu kekuasaan suatu negara (the might of a state) yang memberikan alat perlengkapan untuk melaksanakan segala hal yang dikehendaki oleh negara supaya dilakukan, yang kemudian kita sebut dengan kepentingan nasional.
Perjanjian Westphalia mendukung bangkitnya negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara. Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia lewat kolonialisme, dan “civilization standards”. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat dekolonisasi selama Perang Dingin. Namun, sistem ini tampaknya terlalu disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap “pasca-modern”.
Kedaulatan Westphalia adalah konsep kedaulatan negara-bangsa di teritorinya sendiri tanpa campur tangan agen asing dalam struktur domestiknya.
Para pakar hubungan internasional menyebut sistem internasional negara, perusahaan multinasional, dan organisasi modern yang berorientasi Barat bermula di Perdamaian Westphalia tahun 1648. Baik dasar maupun kesimpulan pandangan ini dikritik oleh sejumlah akademisi dan politikus revisionis. Para revisionis mempertanyakan pentingnya perjanjian damai Westphalia tersebut. Sejumlah komentator dan politikus menyerang sistem negara-bangsa berdaulat Westphalia.
Pandangan Tradisional
            Dalam pandangan tradisional Penganut konsep sistem Westphalia merujuk pada Perdamaian Westphalia yang ditandatangani tahun 1648 yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Waktu itu sebagian besar negara Eropa (Kekaisaran Romawi Suci, Spanyol, Perancis, Swedia, dan Republik Belanda) sepakat untuk menghormati prinsip integritas wilayah. Dalam sistem Westphalia, kepentingan nasional dan tujuan negara (serta negara-bangsa) secara luas dianggap melampaui kepentingan dan tujuan warga negara atau penguasa manapun. Negara menjadi agen institusional utama dalam sistem hubungan antarnegara. Perdamaian Westphalia kabarnya berhasil mengakhiri upaya penerapan kewenangan supranasional terhadap negara-negara Eropa. Doktrin "Westphalia" yang menyebutkan negara sebagai agen merdeka dipertegas oleh perkembangan pola pikir nasionalisme pada abad ke-19. Pola pikir nasionalisme menganggap negara yang sah punya kaitannya dengan bangsa, yaitu sekumpulan masyarakat yang disatukan oleh bahasa dan budaya.
Sistem Westphalia mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Meski pertimbangan praktisnya masih mendorong negara-negara kuat berusaha memengaruhi urusan negara lain, intervensi paksa oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya semakin berkurang antara 1850 dan 1900, berbeda dengan periode sebelumnya.
Perdamaian Westphalia penting dipelajari dalam teori hubungan internasional modern dan sering ditetapkan sebagai awal sistem internasional yang dibahas dalam disiplin ilmu ini.
Beberapa teoriwan hubungan internasional mengidentifikasi sejumlah prinsip utama dalam Perdamaian Westphalia yang menjelaskan pentingnya Perdamaian tersebut dan damaknya terhadap dunia masa kini:
1.      Prinsip kedaulatan negara dan hak asasi penentuan nasib politik
2.      Prinsip kesetaraan hukum antarnegara
3.      Prinsip non-intervensi suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya
Prinsip-prinsip tersebut dianut oleh paradigma hubungan internasional "realis" masa kini, sehingga semakin jelas alasannya sistem negara disebut sebagai "Sistem Westphalia".
Baik ide kedaulatan Westphalia dan penerapannya telah dipertanyakan sejak pertengahan abad ke-20 sampai seterusnya dari berbagai sudut pandang. Sebagian besar perdebatan membahas ide internasionalisme dan globalisasi yang tampaknya bertentangan dengan kedaulatan Westphalia dilihat dari sejumlah interpretasi.

Pandangan Moderen
            Dalam pandangan moderen Sistem Westphalia dijadikan singkatan oleh para akademisi untuk mendeskripsikan sistem negara yang membentuk dunia saat ini. Pada tahun 1998, di Simposium Pelanjutan Relevansi Politik Perdamaian Westphalia, Sekretaris Jenderal NATO Javier Solana mengatakan bahwa "kemanusiaan dan demokrasi [adalah] dua prinsip yang pada dasarnya tidak relevan dengan tatanan Westphalia yang asli" dan mengkritik bahwa "sistem Westphalia memiliki batasan. Misalnya, prinsip kedaulatan yang digantungkannya juga menciptakan alasan persaingan, bukan kerja sama antarnegara; pengucilan, bukan integrasi.
Pada tahun 2000, Menteri Luar Negeri Jerman Joschka Fischer mengomentari Perdamaian Westphalia dalam pidatonya di Universitas Humboldt Berlin. Ia berpendapat bahwa sistem politik Eropa yang dibentuk oleh Westphalia sudah kedaluwarsa: "Inti konsep Eropa pasca-1945 masih merupakan penolakan terhadap prinsip keseimbangan kekuatan Eropa dan ambisi hegemonik negara-negara individual yang bermunculan setelah Perdamaian Westphalia tahun 1648, penolakan yang terwujud dalam pencampuran kepentingan vital dan peralihan hak kedaulatan negara-bangsa ke sejumlah lembaga supranasional Eropa."
Setelah serangan Madrid 11 Maret 2004, Lewis Atiyyatullah, yang mengaku sebagai wakil jaringan teroris al-Qaeda, menyatakan bahwa "sistem internasional yang dikembangkan Barat sejak Perjanjian Westphalia akan runtuh; dan sistem internasional baru akan bangkit di bawah kepemimpinan satu negara Islam yang kuat"
Globalisasi juga diklaim telah mengubah sistem internasional melampaui sistem negara berdaulat Westphalia. Benedict Anderson menyebut "bangsa" yang sifatnya putatif (diada-adakan atau diciptakan) adalah "komunitas khayalan" semata.
Pihak lainnya justru mendukung sistem negara Westphalia, termasuk nasionalis Eropa dan palokonservatif Amerika Serikat Pat Buchanan. Para pendukung negara Westphalia menentang sosialisme dan sebagian wujud kapitalisme karena meremehkan negara-bangsa. Karier politik Buchanan dipenuhi serangan terhadap globalisasi, teori kritis, neokonservatisme, dan pemikiran lain yang ia anggap berbahaya bagi bangsa-bangsa Barat masa kini.
Globalisasi
`Selama 1980-an dan awal 1990-an, literatur globalisasi masih berfokus pada pengikisan kedaulatan ketergantungan dan kedaulatan Westphalia. Kebanyakan literatur tersebut mengkritik model politik internasional realis yang menganggap tafsiran negara Westphalia selaku agen kesatuan sebagai sesuatu yang aksiomatis (Camilleri and Falk 1992).
Konsep berbagi kedaulatan yang dianut Uni Eropa juga agak bertentangan dengan pandangan historis kedaulatan Westphalia, karena Uni Eropa mengizinkan agen asing ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara.
Dalam artikel tahun 2008, Phil Williams mengaitkan kebangkitan terorisme dan aktor non-negara keras lainnya (VNSA; violent non-state actor) dengan globalisasi. Terorisme dan VNSA dianggap mengancam kedaulatan negara Westphalia
Intervensi Militer
Sejak akhir abad ke-20, ide kedaulatan Westphalia semakin dipertanyakan setelah terjadi serangkaian rencana maupun aksi intervensi militer di bekas Yugoslavia, Afghanistan, Irak, Sudan, dan lainnya.

Intervensi Kemanusiaan
Intervensi yang dilancarkan ke Kamboja oleh Vietnam (Perang Kamboja–Vietnam) atau ke Bangladesh (waktu itu bagian dari Pakistan) oleh India (Perang Pembebasan Bangladesh dan Perang India-Pakistan 1971) memiliki dasar yang diragukan atau lemah dalam hukum internasional, tetapi dilakukan atas dasar bahwa mereka melakukan intervensi kemanusiaan yang bertujuan mencegah genosida, kehilangan jiwa dalam jumlah besar, atau pemusnahan etnis. Untuk kasus Pakistan Timur/Bangladesh, India mengklaim bahwa mereka bertindak untuk mempertahankan diri alih-alih kepentingan kemanusiaan. India berpendapat bahwa skala arus pengungsi dari Pakistan Timur ke India mengancam stabilitas dalam negeri India, sehingga mereka mengintervensi Bengal Timur untuk memberantas akar ancaman terhadap India.
Walaupun begitu, muncul perdebatan seputar apakah penerobosan kedaulatan negara terkini, seperti yang terjadi di Kosovo (waktu itu bagian dari Serbia dan Montenegro) oleh NATO (Pengeboman NATO di Yugoslavia 1999) dan pemisahan de facto Kosovo dari Serbia, di Irak oleh Amerika Serikat dan sejumlah sekutunya seperti Britania Raya (Perang Irak 2003), di Georgia oleh Rusia (Perang Ossetia Selatan 2008), atau di Libya oleh NATO (Perang saudara Libya 2011), juga merefleksikan prinsip yang lebih agung atau apakah justifikasi sejatinya hanya mengandung kepentingan politik dan ekonomi.
Tafsiran baru mengenai kedaulatan kontingen mulai tercipta, tetapi belum mencapai titik legitimasi internasional. Neokonservatisme telah mengembangkan pola pikir serupa dan menegaskan bahwa ketiadaan demokrasi bisa jadi menciptakan krisis kemanusiaan di masa depan, atau bahwa demokrasi itu sendiri adalah hak asasi manusia sehingga negara-bangsa yang tidak menghormati prinsip-prinsip demokrasi membuka dirinya sendiri terhadap perang sah dengan negara lain. Akan tetapi, para pengusung teori ini dituduh hanya mempermasalahkan demokrasi, HAM, dan krisis kemanusiaan di negara-negara yang menentang dominasi global Amerika Serikat, seperti bekas Yugoslavia, Irak, Iran, Rusia, Cina, Belarus, Korea Utara, Sudan, Venezuela, dan lain-lain, namun malah mengabaikan isu yang sama di negara-negara yang bersahabat dengan Amerika Serikat, seperti Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Georgia, dan Kolombia.
Negara gagal
Kritik lain yang dilontarkan terhadap kedaulatan Westphalia berkaitan dengan negara yang diduga gagal. Afghanistan (sebelum invasi AS tahun 2001) sering dianggap contoh negara gagal. Dalam hal ini, kedaulatan dianggap tidak ada dan intervensi internasional diizinkan atas dasar kemanusiaan serta ancaman yang dimiliki negara gagal tersebut terhadap negara tetangganya dan seluruh dunia. Perdebatan seputar sistem kedaulatan Westphalia juga mengacu pada sitausi yang terjadi di Somalia.
Kesimpulan
Perjanjian Westphalia yang menghasilkan Prinsip kedaulatan negara, hak asasi penentuan nasib politik, Prinsip kesetaraan hukum antar negara dan Prinsip non-intervensi suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya oleh sebab itu sistem negara saat ini disebut dengan Westphalian System (Sistem Westphalia) namun dalam pertimbangan praktisnya masih menuai kritik karena kecenderungan negara lebih kepada persaingan dari pada kerja sama sehingga mendorong negara-negara kuat berusaha memengaruhi urusan negara lain selain juga terkikisnya kedaulatan oleh sebab globalisasi, sampai negara yang dianggap gagal hingga cenderung menimbulkan intervensi negara lain.

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kedaulatan_Westfalen
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdamaian_Westfalen
http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-84689-Sejarah%20Diplomasi-Diplomacy%20in%20the%20era%20of%20Westphalia%20system%20%2816481814%29.html
http://tita-yorinda-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-111207-Tugas%20SOH-Perjanjian%20Westphalia%20dan%20Dampak%20terhadap%20Hubungan%20Internasional.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar