Nama :
ISNANIAH
NIM :
1302045090 (HI.B)
Matakuliah :
Hubungan Internasional di Asia Tenggara
Masa depan Prinsip Non-Intervensi ASEAN
WAY
1.
Latar
Belakang
Non Intervensi adalah
salah satu prinsip dasar yang terdapat dalam Asean Way. Prinsip ini menegaskan
bahwa Negara-negara tidak boleh ikut campur dalam masalah domestik negara lain
di Asia Tenggara. Prinsip ini digagas oleh negara-negara pendiri ASEAN:
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Dan terdapat dalam
Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), 24 Februari 1976:
“In their relations with one another,
The High Contracting Parties shall be guided by the following fundamental
principles:
a)
Mutual
respect for independence, sovereignity, equality, territorial integrity, and
national identity of all nations;
b)
The
Right of every states to lead its national existence free from external
interference, subversion or coercion;
c)
Non-interference
in the internal affairs of one another;”
Prinsip
Non Intervensi dibuat dengan tujuan dapat berfungsi untuk menciptakan perdamaian,
stabilitas, kemajuan dan kesejahteraaan bersama kawasan. Fungsi ini diharapkan
dapat menyatukan negara-negara di Asia Tenggara. Karena negara-negara di Asia
Tenggara sering berselisih mengenai batas teritorial negara ataupun konflik etnis
yang begitu banyak tersebar di kawasan ini. selain itu, dengan melihat sejarah
bersama sebagai wilayah bekas jajahan menyatukan para pendiri ASEAN untuk
menerapkan hal ini, agar kemerdekaan dan kedaulatan wilayahnya tidak dapat
diintervensi.
Seiring
berjalannya waktu, banyak kritik-kritik tentang prinsip Non-Intervensi. Banyak
tokoh yang meragukan kerelevanan prinsip ini. Dalam sebuah tulisan Ilmiah yang berjudul
“Meneropong Prinsip Non Intervensi Yang
Masih Melingkar Dalam ASEAN”
Penulisnya mengatakan bahwa:
“Seiring dengan perkembangan konstelasi
politik global, nampaknya prinsip ini mulai harus ditinggalkan oleh ASEAN.
Karena dalam Piagam ASEAN disebutkan bahwa tujuan ASEAN ke depan adalah maintain
and enhance peace, security and stability and further strengthen
peace-oriented values in the region, serta to enhance regional
resilience by promoting greater political, security, economic and
socio-cultural cooperation. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ASEAN
ke depan merupakan suatu entitas yang satu, ini diperkuat dengan jargon ASEAN, One
Vision, One Identity, One Community”. (Perspektif, Volume XIX No. Tahun 2014 Edisi September).
Penulis karya ilmiah itu juga memasukkan Konflik
Etnik di Myanmar tentang Pembantaian
etnis Rohingya, belum selesainya konflik tersebut karena peran ASEAN sebagai
Organisasi Regional di kawasan Asia Tenggara harus dibatasi dengan Prinsip Non
Intervensi. Seharusnya prinsip ini sudah harus digantikan dengan Prinsip
Intervensi Konstruktivis atau dikenal juga sebagai Intervensi Kemanusiaan. Intervensi
kemnusiaan berati bahwa negara diperbolehkan melakukan intervensi ke negara
lain yang bermasalah dan dianggap melanggar Hukum Internasional. Prinsip ini
biasa dilakukan atas dasar Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.
Bagaimana dengan masa depan prinsip non intervensi
yang dipertahankan oleh ASEAN. Apakah prinsip ini akan diganti dengan prinsip
intervensi konstruktivis?.
2.
Masa Depan Prinsip Non Intervensi
Thailand dan Filipina beranggapan bahwa Prinsip non
intervensi ini harus diubah, karena melihat perubahan peta politik di Asia
Tenggara. Isu domestik dan isu Internasional sudah susah untuk dibedakan. Atas
dasar Hak Asasi Manusia dan Demokrasi menjadi alasan terpenting di masa ini.
Intervensi Kemanusiaan dianggap jauh lebih relevan bagi ASEAN. Walaupun masih
banyak yang mengatakan bahwa prinsip Intervensi Kemanusiaan ini melanggar
kedaulatan negara. Dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, Intervensi Kemanusiaan
bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah
intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity),
kebebasan politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan
tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the
United Nations). Kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara
kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusian
pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen,
tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia (Anthony D’Amato,
2001:20). Kemudian, Legalitas
intervensi kemanusiaan ini kemudian juga dihubungkan dengan tujuan PBB untuk
menghormati hak asasi manusia (Pasal 1 ayat (3) Piagam PBB). Menurut D’Amato,
sejak tahun 1945 dan lahirnya konvensi tentang pelarangan genosida, deklarasi
HAM universal, maka kewenangan negara untuk bertindak sewenang-wenang atas
warganya telah dibatasi. Batas teritorial sudah tidak menjadi permasalahan
dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.
Namun
negara-negara lain di Asia Tenggara tidak ingin mengubah prinsip non intervensi
ini. yang sudah dipegang teguh semenjak awal berdirinya ASEA, bersamaan dengan
banyaknya konflik yang terjadi pada saat itu.
Prinsip
non intervensi bukanlah tidak relevan lagi untuk diimplementasikan di kawasan
Asia Tenggara. Prinsip ini menjadi pemersatu yang mempererat hubungan
negara-negara di Asia Tenggara yang sama-sama sebagai negara bekas jajahan.
Gillian
Goh, dalam tulisannya berjudul Non-Intervention and ASEAN’s Role in Conflict Management, menjelaskan
bahwa prinsip yang diterapkan oleh ASEAN Way ini merupakan strategi yang baik
dalam resolusi konflik. Ia membandingkan antara prinsip non-intervensi ASEAN
Way dengan manajemen konlik Organization of United State (OAS). Goh
membandingkannya dalam konflik Kambodja dan Haiti. Dengan tidak menggunakan
kekerasan dan militer, prinsip non-intervensi ASEAN Way ini tidak membuat biaya
yang besar dalam penyelesain konflik. Daripada yang dilakukan oleh OAS.
Masih
bertahannya prinsip non intervensi ini lebih karena para anggota ASEAN masih
berpegang teguh dengan sejarah yang telah mempersatukan mereka. Tidak ingin
menghilangkan prinsip ini, masih meyakini bahwa kebersamaan dan kerjasama dalam
penyelesaian konflik akan bisa berjalan baik tanpa adanya kekerasan yang hanya
bisa membuat korban bertambah dan biaya yang besar.
Bisakah
Prinsip Non-Intervensi terus bertahan?. Menurut saya jawabannya Tidak. ASEAN
kedepannya akan menjadi kesatuan masyarakat internasional. Slogan One
Vision, One Identity, and One Community akan menjadi alasan perubahan ini.
Apalagi jika ASEAN benar akan mempunyai satu mata uang bersama. Sungguh sulit
untuk menerapkan hal ini. Kita bisa ambil contoh dari Uni Eropa, dengan Euro
sebagai mata uang pemersatu negara-negara di Uni Eropa bisa menjadi faktor
krisis di Eropa. Ketika Yunani mengalami krisis dalam negeri, hal ini berdampak
pada negara-negara lain di Eropa. Jika ASEAN mengalami hal yang sama, apa yang
bisa dilakukan oleh ASEAN. Jika suatu negara di Asia Tenggara mengalami
krisis/masalah dalam negerinya, dan berdampak pada negara-negara lain di Asia
Tenggara, ASEAN tidak bisa ikut campur dalam masalah domestik negara tersebut
karena prinsip non-intervensi yang diterapkannya. Penyelesaian konflik yang
panjang dan lama justru akan buruk bagi perekonomian negara-negara lain di
kawasan Asia Tenggara. Hal ini menjadi salah satu kunci terhambatnya Organisasi
regional tersebut dalam berintegrasi secara keseluruhan.
3.
Kesimpulan
Masa depan Prinsip
Non-Intervensi dalam ASEAN Way sepertinya akan digantikan dengan Prinsip
Intervensi Kemanusiaan.
Prinsip
ini memang masih bisa diterapkan, namun pasti akan sulit dalam prosesnya nanti.
Karena justru akan menghambat tercapainya tujuan ASEAN dalam integrasi ekonomi
yang sedang coba dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Goh, Gillian. 2003. “The 'ASEAN Way' – Non-Intervention and
ASEAN's Role in Conflict Management”. Stanford Journal of East
Asian Affairs., pp. 113-118
Erika.2014.
“Meneropong Prinsip Non-Intervensi yang masih Melingkar dalam ASEAN”. Perspektif,
Volume
XIX No. 3
Santika, Prasiddha., 2015, ASEAN WAY, http://www.kompasiana.com/prasito/asean-way_55006bc2a33311526351186c
(Diakses 11 November 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar