|
ASEAN Way adalah suatu jalan atau
cara ASEAN yang mana sebagai organisasi regional ASEAN memiliki norma-norma
tersendiri atau cara yang diklaim khas
dan cocok dengan karakterisitik bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Sebagaimana
menurut Amitav Acharya ada dua nilai yang menjadi landasan dalam pembentukan
norma pada organisasi regional khususnya ASEAN yaitu ASEAN dapat belajar dari
organisasi regional lain atau bisa juga dari nilai-nilai sosial, politik, dan
budaya setempat. (Acharya, 2001:45).
Dalam Treaty of Amity and Coorperation di Bali tahun
1976 negara anggota ASEAN sepakat membentuk beberapa prinsip yang kemudian
dijadikan norma dan prinsip ASEAN. Menurut Amitav Acharya juga paling tidak ada
empat norma dan prinsip yang melandasi kehidupan ASEAN. Pertama, menentang penggunaan kekerasan dan mengutamakan solusi
damai. Kedua, otonomi regional. Ketiga, Prinsip tidak mencampuri urusan
negara lain dan Kempat, menolak
pembentukan aliansi militer dan menekan kerjasama pertahanan bilateral. Hal
inilah yang kemudian menjadi dasar Metode yang digunakan dalam manajemen
konflik melalui konsep ASEAN Way yang umumnya didasarkan pada musyawarah atau
konsensus. Terkait empat norma dan prinsip ini saya tertarik dengan otonomi
regional karena inilah esensi dari regionalisme itu sendiri dan menjadi masalah
yang cukup pelik di ASEAN.
Tidak bisa dipungkiri beberapa negara di ASEAN
sangat dekat dengan negara dari kawasan lain dan sering kali memiliki pandangan
berbeda satu sama lain. Semisal Thailand dan Philipina telah menjalin kerjasama
keamanan dengan Amerika jauh sebelum ASEAN terbentuk. Demikian juga Malaysia
dan Singapura secara historis merupakan bagian dari negara persemakmuran
Inggris, sementara Indonesia sebagai negara terbesar dari segi geografis dan
demografis lahir dari revolusi kemerdekaan melawan Belanda sehingga begitu kuat
komitmenya untu bersikap non blok baik secara nasional maupun di kawasan.
Mantan Menlu Indonesia Adam Malik pernah mengatakan agar ASEAN tidak perlu
menggantungkan diri pada negara barat seperti Inggris dan Amerika.
Namun atas segala perbedaan, semua negara anggota
sepakat sebagai organisasi regional yang masih muda (kala itu) tidak mungkin
menolak sepenuhnya pengaruh asing, sebagaimana dikatakan Lee Kuan Yew agar
ASEAN dapat menjadi satu entitas dalam mencapai kepentingan regional di dalam
politik internasional. Pada tahun 1970 PM Malaysia Tun Abdul Razak memunculkan
gagasan netralisasi kawasan Asia Tenggara dalam bentuk Zone of Peace Freedom
and Neutrality (ZOPFAN) hal ini sebenarnya tidak lepas dari latar belakang
kerusuhan di Malaysia tahun 1969 yang berpotensi mengundang perhatian Cina,
Indonesia sendiri memandang hal ini sebagai netralitas ASEAN dari kerja sama
militer dengan barat padahal Thailand dan Filiphina belum siap akan hal itu,
sementara Malaysia dan Singapura pun masih terlibat dengan FPDA dengan Inggris.(Cipto, 2006:30)
Vietnam sendiri tentu memiliki pengalaman yang paling tidak mengenakan dengan
Amerika Serikat.
Jika dalam konteks kontemporer pasca perang dingin saya kira pola-pola ini
masih terus berlanjut terutama jika kita
benturkan dengan dua negara besar saat ini yaitu Cina dan Amerika Serikat
terutama dengan adanya kasus serangan 11 September di AS dan sengketa Laut Cina
Selatan, yang memang membuat negara-negara ASEAN secara realis harus bekerja
dengan negara di Luar Kawasan namun hal ini juga tidak lepas dari latar
belakang negara ASEAN yang berbeda beda.
Persepsi berbeda-beda dari masing-masing negara ini dapat
kita lihat melalui prespektif Realis dimana menurut Morghentau bentuk
dan sifat kekuasaan negara akan beragam dalam hal waktu, tempat dan konteks,
tetapi konsep kepentingan tetap konsisten. Konflik
Laut Cina Selatan sendiri sejak 1970an sudah mulai banyak terjadi klaim namun
hal ini semakin memuncak pasca runtuhnya
Tembok Berlin tahun 1990an dan
membuatnya semakin menjadi fokus isu kemanan hubungan nasional di Asia Tenggara,
namun hingga saat ini belum juga selesai, karena banyak sekali potensi yang
dimilikinya tidak hanya sumber daya tapi juga posisinya yang merupakan jalur
strategis sehingga di LCS ini bukan hanya kepentingan ASEAN dan Cina tapi
hampir seluruh negara di Dunia.
Bergeser ke hubungan dengan AS, Diantara
negara-negara Asia Tenggara hanya Singapura, Philipina dan Thailand yang
menunjukan kedekatan dengan Amerika lebih dari yang lain. Dukungan penuh
terhadap perang melawan terorisme menyebabkan Amerika memberikan bantuan
militer terhadap negara tersebut hal ini berkaitan juga dengan politik “stick and carrot” yang diterapkan AS
pasca terjadinya 9/11(Husaini,2005:203).
Hal-hal diatas sejalan juga dengan apa yang dikatakan
oleh kaum konstruktivis bahwa “anarchy is
what states make of it” (Went,
1992: 395) dimana negara menciptakan kompetisi dan dilema keamanan kita sendiri
dengan berinteraksi dengan cara-cara tertentu satu sama lain yang menimbulkan
hasil-hasil yang tidak bisa dihindari. Philipina memiliki sejarah hubungan
dekat dengan AS sejak di aneksasi oleh AS, Singapura sendiri memiliki presepsi
ancaman terkait Identiasnya dan sejarah konforntasi yang dilakukan Indonesia,
dan Thailand merasakan adanya ancaman dari Cina sehingga pilihannya adalah
bekerja sama dengan AS.
Sementara di satu sisi Malaysia dan Indonesia adalah
dua negara dengan penduduk mayoritas muslim dan juga anggota OKI tentu
intervensi AS ke Irak, Afghanistan, dan sejumlah negara di Asia Tengah ditambah
dukungannya terhadap Israel membuat AS begitu “dibenci” baik oleh elit maupun
masyarakatnya, Singpura sendiri sekaan tidak bertoleransi dengan membawa PM
Israel ke negaranya Sekitar tahun 2005 lalu yang memancing kemarahan tersendiri
bagi rakyat Indonesia dan Malaysia.
Kedepannya dengan dengan adanya ASEAN Economic Community bukanlah
hal yang salah untuk berharap dapan menimbulkan spill over effect dan membawa
ASEAN menjadi satu kesatuan dalam satu entitas terkait sikap dalam politik
internasional yang memiliki otonomi regional yang mutlak diperlukan bagi masa
depan ASEAN.
sumber & referensi
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Jakarta, Gema Insani, 2005
Amitav Acharya, Constructing a Security Community in South East Asia :ASEAN and the Problem of Regional Order, London and New York, Routledge, 2001.
Alexander Wendt, Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics" in International Organization, vol. 46, no. 2, 1992.
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakatra, Pustakapelajar, 2006.
sumber & referensi
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Jakarta, Gema Insani, 2005
Amitav Acharya, Constructing a Security Community in South East Asia :ASEAN and the Problem of Regional Order, London and New York, Routledge, 2001.
Alexander Wendt, Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics" in International Organization, vol. 46, no. 2, 1992.
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakatra, Pustakapelajar, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar