Kamis, 07 Januari 2016



NAMA                       : WA ANNISA
NIM                            : 1302045147
PRODI                       : ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
JURUSAN                 : HUBUNGAN INTERNASIONAL Reg. B
MATA KULIAH      : POLITIK DAN PEMERINTAHAN DI ASIA TENGGARA
Analisis Prinsip ASEAN WAY ( Non-Interferrence)
Sejak awal berdirinya, prinsip non-intervensi telah diterapkan oleh anggota ASEAN. Konsep dari prinsip ini adalah tentang persamaan kedaulatan yang dimiliki tiap negara tanpa terkecuali. Prinsip non-intervensi ini ditujukan sebagai alat dalam pertahanan nasional, bukan regional. Sehingga, ASEAN memberikan ruang bagi setiap anggotanya untuk menyelesaikan permasalahan domestiknya dengan caranya sendiri.
Pada tahun 1971 ASEAN menyatakan diri sebagai wilayah damai, bebas, dan netral/ZOPFAN (The Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Freedom dalam ZOPFAN juga dimaksudkan sebagai kebebasan yang berhak diperoleh oleh setiap anggota untuk tidak diinterfensi mengenai permasalahan domestik mereka. Intervensi disini bisa diartikan dalam hal kemerdekaan atau independensi serta integritas negara itu sendiri (Ramcharan, 2000: 65).
Tetapi, dengan adanya prinsip ASEAN WAY tentang non-intervensi ini menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi terdapat dalam pasal 2 piagam ASEAN : (e) non-interference in the internal affairs of ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to leads its national existence free from external interference, subversion and coersion. Doktrin ini kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi manusia dalam lingkup regional dan memungkinkan negara untuk melakukan penyalahgunaan terhadap perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya pengawasan dan hukuman oleh ASEAN.
Contoh kasusnya yaitu terkait permasalahan etnis Rohingya, dimana Krisis kemanusiaan yaitu kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya di Myanmar telah menyita perhatian publik internasional. Eskalasi konflik yang meningkat antara Buddha Arakan dengan muslim Rohingya memberikan gambaran yang buruk mengenai keseriusan pemerintah Myanmar dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Krisis Rohingya ini dipicu oleh insiden pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe (27 tahun), seorang gadis Buddhis Arakan, yang dilakukan oleh beberapa oknum muslim Rohingya pada Mei 2012. Insiden tersebut kemudian memicu gejala kebencian terhadap muslim Rohingya di seluruh daerah Arakan. Beberapa hari setelah insiden itu, masyarakat Buddhis Arakan membalas dengan memukuli dan membunuh 10 orang etnis Rohingya, dalam satu insiden pencegatan dan pembunuhan penumpang bus antar-kota, hingga tewas di Taunggup.
Insiden pembunuhan tersebut menjadi awal bagi meningkatnya gejala kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh muslim Rohingya. Kelompok Buddhis Arakan, didukung oleh pendeta Buddha lokal dan aparat keamanan Myanmar, melakukan berbagai tindakan kekerasan secara sistematis terhadap muslim Rohingya meliputi pemukulan, pemenggalan, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal, pengusiran dan isolasi bantuan ekonomi. Berbagai tindakan kekerasan ini digunakan sebagai cara untuk mengusir etnis Rohingya keluar dari Myanmar. Aksi anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat Arakan ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah Myanmar, khususnya perlindungan terhadap keberlangsungan hidup etnis Rohingya dan penegakan hukum terhadap pelaku aksi-aksi kekerasan. Pemerintah Myanmar dinilai sengaja mengambil kebijakan yang diskriminatif terhadap muslim Rohingnya dan adanya dugaan upaya pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar kepada etnis Rohingya.
Kehidupan etnis Rohingnya ini juga diawasi dan dikendalikan pasukan penjaga perbatasan yang dikenal sebagai Nasaka, inisial nama kesatuan tersebut dalam bahasa Burma. Unit Nasaka terdiri dari perwira berbagai kesatuan seperti polisi, militer, bea cukai dan imigrasi. Nasaka mengendalikan hampir setiap aspek dari kehidupan etnis Rohingya. Dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia melaporkan bahwa Nasaka bertanggungjawab dalam kasus pemerkosaan, pemerasan dan kerja paksa. Etnis Rohingya tidak dapat melakukan perjalanan antar kota atau mengurus pernikahan tanpa adanya perizinan dari Nasaka, yang semuanya baru akan diurus setelah membayar uang suap.
Menurut laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, sekitar 180,000 orang mendapatkan dampak dari dua gelombang kekerasan sektarian antara masyarakat Buddhis Arakan dengan Muslim Rohingya di distrik Arakan Barat pada tahun 2012. Dari jumlah tersebut 140,000 orang masih mengungsi, sebagian besar dari mereka adalah orang Rohingya yang tinggal di 80 kamp dan shelter pengungsian. Sementara itu sekitar 36,000 orang sisanya tinggal di 113 desa terpencil yang mengalami kesulitan akses untuk pelayanan dasar. Sejumlah 167 orang tewas dalam insiden kekerasan (78 orang pada Juni dan 89 orang pada Oktober), 223 orang mengalami luka-luka (87 orang pada Juni dan 136 orang pada Oktober) dan lebih dari 10,000 rumah dan bangunan hancur akibat insiden tersebut.
Sejak Oktober 2012 diperkirakan terdapat 785 orang pengungsi Rohingya tewas tenggelam di laut dalam pelariannya untuk mencapai perairan Thailand, Indonesia, Malaysia dan Australia, berbanding dengan 140 orang tewas pada tahun 2011. Sementara di Bangladesh diperkirakan terdapat 300,000 orang pengungsi Rohingya, ungkap Medecins Sans Frontieres (MSF), organisasi medis non-pemerintah asal Perancis. Beberapa pengungsi lainnya mencoba mengungsi ke India, Nepal dan Timor Leste. Pada saat yang bersamaan sekitar 2,000 orang Rohingya baik pria, wanita dan anak-anak berada di shelter-shelter pengungsian di wilayah perbatasan Thailand. Pemerintah Bangladesh melansir bahwa mereka telah menerima sekitar 25,000 orang Rohingya dengan status pengungsi, yang mendapatkan bantuan dari PBB, ditempatkan di dua kamp di sebelah tenggara Bangladesh. Diperkirakan masih terdapat antara 200,000 hingga 300,000 orang pengungsi Rohingya yang tidak terdaftar, tidak memiliki status dan hak-hak legal sebagai pengungsi. Orang-orang ini menetap di luar kamp pengungsian dan bergantung kepada masyarakat lokal Bangladesh untuk bertahan hidup.
Berdasarkan laporan media, terdapat sekitar 90 orang tewas dan hampir 30,000 orang Rohingya terusir akibat gelombang baru kekerasan setelah sekelompok ekstremis menyerang dan membakar rumah dan perahu di daerah pemukiman muslim di Kyaukpyu pada Oktober 2012. Sejumlah orang Rohingnya juga dibawa ke tengah laut melalui perahu, tongkang dan kapal nelayan, dilaporkan lebih dari seratus orang tewas tenggelam setelah kapal mereka diserang dan ditenggelamkan. Gambar satelit yang dipublikasikan oleh Human Rights Watch mengindikasikan bahwa pembakaran terhadap pemukiman Rohingya di Kyaukpyu telah direncanakan dan melibatkan unsur dari militer. Serangan ini menyebabkan kerusakan di delapan distrik yang menghancurkan 4,000 rumah beserta tempat peribadatan.
Sumber (catatan%20pergerakan%20%20ASEAN,%20Rohingnya%20dan%20Krisis%20Kemanusiaan%20di%20Myanmar.html)
Terkait permasalahan Rohingya jajaran kementerian luar negeri negara anggota ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap pada Agustus 2012, yaitu : (1) mendorong pemerintahan Myanmar untuk terus bekerja dengan PBB dalam menangani krisis kemanusiaan di Arakan, (2) menyatakan keseriusan organisasi regional ASEAN untuk menyediakan bantuan kemanusiaan, (3) menggarisbawahi bahwa upaya mendorong harmoni nasional di Myanmar merupakan bagian integral dari proses demokratisasi di negara tersebut. Sekretaris Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan, mengingatkan bahwa isu Rohingya dapat mengganggu stabilitas kawasan jika komunitas internasional, termasuk ASEAN, gagal untuk merespon krisis tersebut secara tepat dan efektif. Surin Pitsuwan juga mengakui bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan kepada etnis Rohingya.
Sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN seharusnya dapat memainkan peranan sentral dalam melakukan tekanan politik kepada pemerintahan Myanmar dalam mencegah eskalasi konflik antar etnis di Arakan. ASEAN dalam kemitraannya dengan PBB seharusnya menjadi saluran utama dalam memperluas bantuan kemanusiaan kepada seluruh penduduk yang terkena dampak dan menjadi korban dari konflik di area tersebut. ASEAN juga dapat memberikan sanksi dan blokade ekonomi kepada Myanmar untuk memberikan perlindungan HAM di kawasan.
ASEAN juga dapat menggunakan berbagai mekanisme untuk memberikan bantuan kemanusiaan ke Myanmar dalam penanganan masalah Rohingya. ASEAN dapat berperan aktif dalam mencari dan menemukan akar permasalahan konflik antar etnis di Arakan melalui pembangunan kapasitas dalam perdamaian, mediasi konflik, pencegahan konflik, manajemen keamanan perbatasan, masalah migrasi, penguatan kapabilitas pemerintahan lokal dalam manajemen perdamaian dan ketertiban sosial. 
ASEAN juga dapat membantu parlemen Myanmar dalam mengkaji dan mengamandemen undang-undang yang ada mengenai kewarganegaraan, pengungsi, dan orang-orang tanpa kewarganegaraan dengan perubahan yang memungkinkan pemerintah pusat dan otoritas lokal menangani masalah ini. Pemerintah Myanmar telah terbuka dengan gagasan pemberian status kewarganegaraan kepada orang Rohingya yang memenuhi kualifikasi di Arakan, ini adalah sebuah kesempatan positif yang seharusnya dapat dioptimalkan oleh ASEAN.
ASEAN seharusnya dapat membangun supremasi hukum di atas hukum nasional negara anggota khususnya Myanmar dalam isu perlindungan hak asasi manusia. Dengan kata lain konstitusi nasional, hukum perundangan, kebijakan dan tindakan dari negara anggota ASEAN dapat dikoreksi dan dianulir jika bertentangan dengan tujuan, prinsip dan kebijakan ASEAN dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks krisis kemanusiaan Rohingya adanya pembentukan mahkamah konstitusi ASEAN yang memiliki wewenang dan otoritas untuk melakukan peninjauan, pembatalan dan amandemen undang-undang dan kebijakan nasional Myanmar menjadi suatu hal yang sangat penting dalam upaya perlindungan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar