Nama : Wiwin Rahmah Sari
NIM : 1302045148
Setelah berkunjung dan melihat secara
langsung DPRD Kaltim pada hari senin, 18 Mei 2015 pukul 2 siang, saya dapat
mengetahui sistem kerja yang berlangsung di gedung parlemen dengan melakukan
diskusi bersama anggota DPRD, anggota yang hadir pada saat itu adalah komisi 4
yang menangani bidang kesejahteraan rakyat meliputi, ketenagakerjaan,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kepemudaan dan olahraga, agama,
kebudayaan, kesejahteraan sosial, kesehatan, keluarga berencana, pemberdayaan
dan peranan wanita, transmigrasi, museum, cagar budaya dan pariwisata. Komisi 4
tersebut dihadiri oleh Bapak Adam (Fraksi HANURA), Bapak Erza
Adityawarman ( DAPIL 4 KUTIM BONTANG ), Bapak Hermanto Kelod (FRAKSI PDIP, DAPIL
3 PASER), Bapak Mursidi Muslim (DAPIL KUBAR MAHAKAM ULU, FRAKSI GOLKAR), Ibu
Rita Barito (Fraksi GOLKAR), Bapak Rosyidi, Ibu Siti Qomariah ( DAPIL 1
SAMARINDA ).
Sebelumnya saya
dapat kesempatan untuk mengikuti Rapat Paripurna Ke-10 DPRD Kaltim
dengan agenda Penyampaian Jawaban Fraksi-Fraksi DPRD Kaltim Terhadap Tanggapan
Pemerintah Provinsi Kaltim Terkait Raperda Inisiatif Perubahan Bentuk Badan
Hukum Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim dan Tanggapan Pemprov Terkait
Pandangan Umum Fraksi-Fraksi DPRD Kaltim Terkait Raperda Pemprov Tentang
Penyelenggaraan Perpustakaan dan Pembentukan Pansus Pembahas Raperda Tentang
perpustakaan, berlangsung di Gedung utama, DPRD Kaltim yang berlangsung mulai
pukul 10 pagi. Sidang ini dihadiri oleh
semua fraksi dan tentunya hanya perwakilannya saja. Selain itu ada beberapa
tamu yang hadir salah satunya saya dan teman-teman beserta dosen kami, Ibu Uni
W Sagena, S.IP, M.Si.Ph.D selaku dosen pengampuh matakuliah Teori Perbandingan
Politik. Saya sangat antusias
menyimak persidangan karena ini pertama kalinya.
Pada saat saya memasuki ruangan, ini seperti ruangan yang ada di TV pada saat sidang-sidang tertentu. Pertama yang saya pertanyakan mengapa tidak semua kursi terisi, dan ada anggota-anggota yang dapat keluar masuk begitu saja padahal ini adalah kegiatan sidang resmi? Mungkin, ada anggota yang dapat keluar masuk karena hanya tamu saja. Sedangkan hanya perwakilan fraksi saja yang harus tetap ada ditempat samapai sidang selesai. Yang tambah membuat saya bingung, mengapa ada anggota sidang yang dapat merokok ditempat resmi seperti itu? Apakah ini melanggar kode etik pejabat DPRD atau karena merasa bosan/boring mengikuti persidangan yang memakan waktu yang lama, bahkan banyak yang memainkan gadget masing-masing, bukankah seharusnya menyimak persidangan meskipun tidak ikut berbicara pada saat persidangan?
Pada saat saya memasuki ruangan, ini seperti ruangan yang ada di TV pada saat sidang-sidang tertentu. Pertama yang saya pertanyakan mengapa tidak semua kursi terisi, dan ada anggota-anggota yang dapat keluar masuk begitu saja padahal ini adalah kegiatan sidang resmi? Mungkin, ada anggota yang dapat keluar masuk karena hanya tamu saja. Sedangkan hanya perwakilan fraksi saja yang harus tetap ada ditempat samapai sidang selesai. Yang tambah membuat saya bingung, mengapa ada anggota sidang yang dapat merokok ditempat resmi seperti itu? Apakah ini melanggar kode etik pejabat DPRD atau karena merasa bosan/boring mengikuti persidangan yang memakan waktu yang lama, bahkan banyak yang memainkan gadget masing-masing, bukankah seharusnya menyimak persidangan meskipun tidak ikut berbicara pada saat persidangan?
Tak lama mengikuti
persidangan, saya izin keluar untuk melakukan shalat zuhur, kemudian
melanjutkan ke agenda ‘’mengenal parlemen lebih dekat’’ di gedung yang berbeda.
Diawali dengan perkenalan dan beberapa sambutan serta motivasi dari anggota
DPRD. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi, sayangnya tidak semua mendapat
kesempatan bertanya karena waktu yang terbatas, padahal banyak sekali yang
mengangkat tangan untuk dapat bertanya.
Pada saat berdiskusi,
ada salah seorang mahasiswa yang bertanya tentang taman kota di jalan
Bayangkara yang sedang dalam proses pembangunan (hingga saat ini belum
selesai), yang sangat disayangkan mengapa pembangunan begitu lambat dan jalanan
sudah beberapa kali diperbaiki namun masih hancur, sehingga mengganggu
aktifitas kendaraan roda dua maupun empat. Pembanguan taman kota memang perlu
dibuat untuk mengurangi polusi udara selain itu untuk memperindah kota.
Kemudian pertanyaan
ini dijawab oleh salah satu anggota DPRD, beliau menjelaskan bahwasannya beliau
juga tidak setuju dengan pembangunan taman kota tersebut. Ini adalah proyek Pak
walikota, yang tidak berkoordinasi dengan kami. “saya sudah berusaha mengajak
berdiskusi mengenai taman kota tersebut, tapi pak walikota tidak menanggapi’’
sahut beliau.
Setelah seminar
selesai saya dan yang lainnya melakukan tour keliling wilayah kantor DPRD, saya
masuk ke beberapa ruang pejabat. Selain itu juga saya berjalan dari satu gedung
ke gedung lainnya, tak lupa menyempatkan untuk berfoto bersama teman-teman
lainnya di depan gedung parlemen. Setelah selesai tour, saya dan yang lainnya
kembali ke rumah masing-masaing pada pukul 17:00, bahkan ada yang lewat karena
masih asyik berfoto-foto.
Kritik:
Saya sangat tidak setuju dengan beberapa
prilaku anggota DPRD pada saat rapat paripurna, seperti yang saya sebutkan
diatas. Ini bertentanagn dengan kode etik seperti yang disebutkan oleh anggota
DPRD pada saat seminar “mengenal parlemen lebih dekat’’. Kode etik tersebut,
berisi aturan-aturan yang harus dijalankan sebgai anggota DPRD, bahkan masalah
pakainan pun sudah diatur dalam kode etik tersebut. Setiap kode etik
berberda-beda antar satu fraksi dengan fraksi yang lainnya.
Saya juga tidak
setuju mengenai skema taman kota yang mengalihkan pengguna kendaraan bermotor
yang arah putarannya membuat macet, selain itu jika hujan ada beberapa genangan
air di beberapa badan jalan. Seharusnya antara pejabat Walikota dan DPRD ada
koordinasi yang jelas, sehingga pembangunan berjalan dengan baik dan dapat memberikan
pelayanan yang memuaskan untuk rakyat.
Kaitannya dengan Matakuliah TPP
Dalam pendekatan behavioralis kita dapat
mengetahui suatu sistem berjalan dengan baik atau tidak. Jika melihat dari
perilaku anggota DPRD yang ada, maka jelas didalam sistem ada yang salah. Tidak
hanya dari sistemnya yang salah tapi individunya juga. Maka dengan pendekatan
ini saya bias menyimpulkan bahwa system pemerintahan yang ada di Samarinda
kurang baik. Jika anggota DPRD memiliki wibawa yang tinggi dan tahu akan peranannya
sebagai pejabat tinggi, tentu tidak akan berperilaku yang akan mencoreng nama
baik anggota DPRD. Perilaku yang tidak baik dari indivu dapat mempengaruhi
system yang ada, begitu juga sebaliknya. Dari hal ini tentu antara individu dan
system, kudua-duanya perlu diperbaiki agar dapat berjalan bersamaan dan tidak
adanya ketimpangan antar keduanya.
Jika seperti contoh
kasus diatas (taman kota), tentu masyarakat akan melakukan feedback agar taman
kota sesuai dengan keinginan masyarakat. Menurut teori yang dikemukakan oleh
David Easton, tuntutan dan dukungan akan dimainkan oleh masyarakat, jika
aspirasinya tidak terpenuhi. Aspirasi pun akan mengalami tarik-menarik
kepentingan, jika suatu permasalahan dianggap penting, baru akan ditindak
lanjuti dan kurang penting, maka akan diabaikan. Menurut saya taman kota ini
adalah persoalan penting karena menyangkut kepentingan banyak orang.
Mengapa, tidak
semua tuntutan dapat diperhatikan oleh pemerintah? Saya menilai, bahwa ini
bukan masalah mendesak atau tiak mendesaknya suatu persoalan tetapi tidak
adanya aparatur negara yang mau mengatasi persoalan tersebut secara bersama.
Namun yang terlihat anggota DPRD bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan
sesuai DAPIL dan FRAKSI masing-masing.
Seharusnya setiap struktur
dapat menjalankan fungsinya masing-masing serta dapat saling berkoordinasi satu
sama lain agar tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar