Nama : Veramia Bonita
NIM : 1302045114
Kelas : HI Reg B
Dalam pelaksanaannya ASEAN memiliki norma-norma
tersendiri yang mana dikenal sebagai ASEAN
Way dimana berkenaan dengan
norma non intervensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mengejar otonomi
regional, serta menghindari collective
defense. (Khoo, 2004: 38)
ASEAN merupakan
kerjasama regional terdapat titik tertentu yang mungkin dapat menjadi sebuah
pemicu permasalahan baru jika sedari awal tidak dibuat ketentuan yang mengatur
setiap negara anggotanya. Disinilah ASEAN
Way berperan, seperti yang dikatakan oleh Khoo, pada dasarnya ASEAN Way memuat norma-norma yang mengatur
segala tindakan setiap aktor negara. Misalnya, norma non-intervensi yang
mengatur ASEAN tidak ikut campur dalam permasalahan internal, dan norma non
penggunaan angkatan bersenjata yang membuat setiap negara dalam kawasan Asia
Tenggara ini bersama menghindari konflik yang mengancam keamanan.
Pada dasarnya, ASEAN Way menggunakan metode manajemen konflik
didasarkan pada musyawarah dengan tujuan agar tidak terdapat pihak hegemoni yang
mendominasi. ASEAN Way menghasilkan
deklarasi isu keamanan, yaitu Zone
of Peace Freedom and Neutrality (ZOPFAN). Bertujuan untuk menjaga
stabilitas keamanan. Selain itu, ASEAN
Way juga diterapkan ketika
terjadi konflik di wilayah Indochina yang melibatkan Kamboja serta Vietnam
tahun 1978, dimana Vietnam yang mengambil alih pemerintahan kamboja dengan menggulingkan
rezim Pol Pot dan dianggap telah melanggar prinsip non-intervensi. Pertemuan
pun dilakukan bertahap untuk menyelesaikan konflik tersebut dan akhirnya
tercapai penyelesaian melalui pertemuan Jakarta Informal Meeting yang
berlangsung selama dua kali dan memberikan dampak yang positif yakni, penarikan
pasukan Vietnam dari Kamboja dan himbauan mengakhiri keterlibatan pihak asing
termasuk dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang
bertikai di Kamboja.
Dalam prosesnya,
terdapat banyak sekali perbaikan yang dilakukan pihak ASEAN dalam penerapan ASEAN Way. Banyak pihak yang
pesimis akan keberhasilan ASEAN Way, menurut saya hal ini dikarenakan
pandangan bahwa ASEAN Way hanya
sebuah kumpulan norma dan prinsip, tidak dibekukan menjadi sebuah hukum
regional yang memiliki legitimasi untuk mengatur tindakan negara secara tegas.
Penyempurnaan dilakukan bermula dari proposal Thailand mengenai Flexible
Engagement di tahun 1998
merupakan bentuk pembicaraan yang dilakukan oleh negara anggota ASEAN untuk
membicarakan tentang masalah domestik serta kebijakan didalam negeri, tanpa ada
maksud untuk mengintervensi.
Permasalahan
yang kemudian muncul adalah akibat dari globalisasi yang membuat batasan antara
isu domestik dan isu internasional begitu kabur. Dalam situasi ini penerapan
prinsip non intervensi secara tegas mulai menjadi tidak relevan. Pernyataan
Menlu Thailand Surin Pitsuwan dalam artikel Ramcharan (2000:75), bahwa prinsip
ASEAN mengenai non-intervensi perlu diganti dengan intervensi yang konstruktif.
Dalam artian, perlu adanya intervensi ketika terjadi permasalahan di suatu
negara yang berpotensi mengancam kestabilan regional.
Banyak pihak
sepakat untuk melakukan intervensi hanya dalam keadaan-keadaan tertentu. Misalnya,
saat terjadi permasalahan yang dapat memberikan ancaman terhadap identitas
ASEAN sebagai organisasi regional, dimana negara yang demokratis dan otoritas
dapat muncul secara bersamaan atau permasalahan yang dapat berakibat buruk pada
rezim keamanan yang sebelumnya telah berada dalam bahaya sebagai akibat dari
kekacauan sosial-ekonomi yang merupakan akibat dari krisis finansial regional
(Ramcharan, 2000: 79).
Komitmen dan
saling percaya antar negara anggota merupakan suatu dasar fundamental untuk
menerapkan perubahan ini. Ketika ASEAN sudah berhasil mencapai tahap integrasi
yang utuh, maka prinsip intervensi konstruktif dalam ASEAN Way seharusnya bukan merupakan sebuah hal
yang tabu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar