NIM : 1302045099
HI di Asia Tenggara
(ASEAN
Way)
Analisa Mengenai ASEAN Way dan Asian Value Sebagai Aturan Main Dalam Menyelesaikan Persoalan HAM di Tubuh ASEAN
Pengantar
Di tengah arus
globalisasi nilai-nilai yang berkaitan dengan demokrasi dan HAM Asia, khususnya
Asia Tenggara masih tertinggal dibandingkan dengan Eropa. Ada kebutuhan yang
nyata untuk perlindungan terhadap HAM pada tingkat regional karena masih cukup
banyak Negara yang belum menganut demokrasi dan sering melanggar hak-hak
politik dan sipil dari rakyatnya sebagai individu maupun kelompok.
Di kalangan
Negara-negara Asia Tenggara, upaya di tingkat regional sudah dilakukan
oleh civil society tetapi Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sudah
mulai memikirkan untuk melembagakan prinsip-prinsip penghormatan HAM
melalui wadah kerjasama ASEAN. Ada Piagam ASEAN yang mencantumkan prinsip
penghormatan terhadap HAM, meskipun rumusannya sangat bersifat umum dan tidak
ada mekanisme yang jelas untuk menjamin pelaksanaannya secara efektif.
Mengingat begitu beragamnya rezim politik Negara-negara anggota ASEAN, kalangan
pejuang HAM masih ragu apakah ASEAN memiliki keberanian politik untuk
meninggalkan pola pikir tradisional para pemimpin ASEAN yang menempatkan kedaulatan
Negara dan kelanggengan rezim politik di atas HAM individu warga negaranya.
Ada pendapat yang
mengatakan bahwa piagam ASEAN justru mencerminkan langkah mundur bagi ASEAN
karena isinya justru melanggengkan nilai-nilai lama dan sikap para pemimpin ASEAN
yang konservatif. Sekalipun ASEAN berhasil memasukkan prinsip HAM ke dalam
Piagam ASEAN, maka dalam pelaksanaannya hanya terbatas pada seruan normative
tanpa ada mekanisme kelembagaan yang efektif untuk menghasilkan keputusan yang
mengikat Negara anggota. Pengamat HAM internasional mengkritik Badan HAM
ASEAN yang diperkirakan tidak akan mampu mengatasi persoalan HAM di Asia
Tenggara. Salah satu kritik yang paling mendasar adalah cara ASEAN (ASEAN way)
dan Asian value yang menjadi aturan main dalam menyelesaikan setiap
persoalan di tubuh ASEAN. Melalui Essay ini, penulis akan menganalisa mengenai
perlu atau tidak cara ASEAN (ASEAN way) dan Asian
value dipertahanankan terkait penyelesaian kasus Pelanggaran HAM.
Analisa
Menurut pendapat saya,
secara sederhana jika penekanannya terdapat pada konteks penyelesaian kasus
pelanggaran HAM, maka ASEAN Way dan Asian Values tidak
perlu dipertahankan lagi keberadaannya di tubuh ASEAN. Banyak faktor signifikan
yang dapat menjelaskan hal tersebut.
Analisa
Pertama, pembentukan Badan HAM ASEAN (ASEAN Human Right Body/AHRB)
menunjukkan sebuah kemajuan, tapi di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa
lembaga ini tidak akan bertaji. Pembentukan AHRB bertujuan untuk mempromosikan
dan melindungi HAM dan membantu memperkaya dan meningkatkan standar HAM di
ASEAN yang sesuai dengan konteks regional dan sebagai saluran kerjasama
konstruktif berkaitan dengan isu-isu HAM diantara Negara-negara ASEAN. Pemuatan
katakonteks regional itulah, yang menimbulkan kekhawatiran, Badan HAM ini
nantinya tidak mengikuti standar dan norma universal HAM, melainkan justru
mengedepankan nilai-nilai Asia (Asian values), yang mencoba
menghadap-hadapkan norma internasional HAM yang dinilai sebagai konsep, produk
dan buatan Negara-negara Barat, yang tidak semuanya dapat diterapkan dan
diterima di Asia serta tidak semuanya selaras dengan nilai-nilai yang dianut di
Asia. Setidaknya, benih masalah juga terlihat pada pernyataan yang
menegaskan tanggung jawab perwakilan pemerintah yang duduk di badan HAM ASEAN
dalam menjalankan fungsinya mesti berdasarkan piagam ASEAN, yang menolak campur
tangan negara di luar ASEAN berkaitan dengan isu dan masalah HAM yang terjadi
di region ini.
Analisa
kedua, konsekuensi dan dampak lebih lanjut dari keberadaan
konsep Asian Values tersebut di atas adalah munculnya prinsip
menghormati kedaulatan (sovereignity) dan non-interference terhadap
urusan internal masing-masing anggota ASEAN, atau yang lebih dikenal dengan
istilah ASEAN Way. Kelemahan dalam diskursus Asean Way ini
terutama dalam sikap ASEAN yang selama ini menjalankan flexible
engagement terhadap isu HAM dengan prinsip non-interferencenya.
Hal ini dijustifikasi akan membuat ASEAN ke depannya kehilangan kredibilitasnya
sebagai suatu entitas regional. Dalam ASEAN, nilai-nilai demokrasi dan
penegakan HAM masih menjadi discourse yang marjinal, ditandai dengan
tidak adanya mekanisme regional untuk penegakan HAM.Selain itu, modalitas baru
ASEAN amat diperlukan, sebab cara-cara negara anggota ASEAN saling berinteraksi
akan menentukan kredibilitas mereka di hadapan negara-negara besar.
Kedua argumen kritis
tersebut bisa dipadukan secara relevan dengan kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Negara-negara anggota ASEAN. Misalkan kasus yang paling jelas adalah
kegagalan Negara-negara anggota ASEAN untuk mempengaruhi rezim militer di
Myanmar untuk menghormati HAM dari Pejuang Demokrasi Aung San Suu Kyi. Dalam
melihat kasus ini, Negara-negara ASEAN belum mampu menerapkan prinsip-prinsip
egalitarianisme sebagai basis hubungan internasional dalam era globalisasi. Hal
ini tentu terkendala oleh prinsip kedaulatan
dan non-interference yang masih dianut oleh Negara-negara ASEAN.
Negara-negara ASEAN tidak dapat mencampuri urusan internal Negara anggota
lainnya, sehingga pelanggaran HAM pun tidak terselesaikan dan hanya terbatas
pada tataran kompromi dan konsensus bukan sebuah penyelesaian yang konkret.
Penutup
Tema besar yang
diangkat dalam pembahasan ini yaitu ASEAN Way dan Asian
Values dalam menyelesaikan masalah HAM cukup mewakili sebagai case
study dalam mengkaji sifat HAM antara universalitas dan relativitas.
Problematika HAM ASEAN yang kerap menjadi perbincangan dan perdebatan di kancah
regional ataupun internasional sebagai sebuah permasalahan serius adalah sebuah
kasus yang sangat rentan berkaitan dengan relativitas, bahkan ASEAN memiliki
budaya dan cara sendiri dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada. Hal
ini tentu secara tidak langsung sangat kontradiktif dengan konsep universalitas
HAM, yang mengharuskan setiap Negara di dunia menganut dan menerapkan
nilai-nilai serta norma universal HAM tanpa mempertimbangkan budaya dan norma
Negara setempat, yang sudah barang tentu setiap Negara memiliki budaya yang
berbeda.
Sakralitas sifat HAM
universal seharusnya juga mempertimbangkan faktor-faktor nilai, norma dan
budaya eksternal dari sebuah Negara. Karena tidak semua Negara bisa menerima
terlebih mengaplikasikan seluruh komponen HAM universal.
DAFTAR
PUSTAKA
Jemadu, Aleksius. Politik
Global dalam Teori dan Praktik. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2008).
Wibisono,
Makarim. Tantangan Diplomasi Multilateral. (Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 2006).
Baderin,
Mashood. Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam. (Jakarta
: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar