Nama : Muhammad Arif (1302045093)
Judul Tugas : Dilema ASEAN Way dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingnya.
Judul Tugas : Dilema ASEAN Way dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingnya.
Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau yang lebih umum dikenal dengan sebutan ASEAN
merupakan organisasi geo-politik dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, yang
berdiri pada 8 Agustus 1967 di Bangkok
berdasarkan deklarasi Bangkok oleh 5 anggota pendiri yaitu negara Indonesia,
Malaysia, Filipina , Singapura, dan Thailand. Kemudian ada 5 negara lain yaitu
Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Di dalam perjalanannya,
ASEAN sebagai sebuah organisasi yang memiliki potensi untuk bisa bersaing
dengan organisasi-organisasi internasional di kawasan lain yang terkadang juga sering memiliki
problematik antar negara anggota di dalam internal kawasan sendiri.
ASEAN Way (Cara-cara ASEAN) dapat di
asumsikan sebagai cara-cara untuk
menanggapi dan menangani suatu permasalahan internal yang biasanya melibatkan
beberapa pihak dalam rangka melakukan manajemen untuk menemukan resolusi
konflik dengan tidak melanggar prinsip-prinsip utama ASEAN. Prinsip-prinsip itu
tersebut meliputi ;
·
Menghormati
kemerdekaan, kedaulatan, kesamaan, integritas wilayah nasional, dan identitas
nasional setiap negara
·
Hak untuk setiap
negara untuk memimpin kehadiran nasional bebas daripada campur tangan,
subversif atau koersi pihak luar
·
Tidak mencampuri
urusan dalam negeri sesama negara anggota
·
Penyelesaian perbedaan
atau perdebatan dengan damai
·
Menolak penggunaan
kekuatan yang mematikan
·
Kerja sama efektif
antara anggota
ASEAN Way juga merupakan suatu pembentukan
identitas bagi negara-negara di Asia Tenggara di tengah maraknya dominasi
negara-negara barat dan maju. ASEAN Way dapat menjadi suatu pedoman bagi
negara-negara di Asia Tenggara khususnya untuk bertindak dalam menyelesaikan
masalah. Dan beberapa karakteristik dari ASEAN Way antara lain adalah Penghormatan terhadap kedaulatan
masing-masing negara anggotanya dengan tidak melakukan intervensi terhadap
masalah internal negara lain, dan berupaya menemukan resolusi konflik dengan
cara-cara damai serta tidak menggunakan cara kekerasan. Untuk metode manajemen
konflik-nya sendiri (melalui konsep Asean Way) umumnya menggunakan cara
bermusyawarah atau konsensus.
ASEAN Way mendorong negara-negara
di kawasan Asia Tenggara untuk bekerjasama secara optimal dalam upaya-upaya
penyelesaian masalah tersebut melalui berdialog serta berkonsultasi. Prinsip non intervensi yang kerap dianggap
dapat menjadi penghambat dalam upaya optimalisasi peran dari ASEAN untuk
membantu menyelesaikan konflik yang berada di dalam internal wilayah
anggotanya, hal itu merupakan bentuk sebuah penghormatan atas kedaulatan negara
yang memiliki konflik tersebut. Di sisi lain, terkadang permasalahan-permasalahan
domestik tersebut dapat berdampak secara luas dan dapat menarik negara lain
kedalam lubang permasalahan tersebut, seperti hal nya konflik domestik antara
pemerintah Myanmar dengan Suku Rohingnya yang mengalami diskriminasi berat hingga
menyita perhatian dunia Internasional atas peristiwa yang menggambarkan ‘Krisis
Kemanusiaan’ di Myanmar tersebut.
ASEAN
sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia melalui
dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) pada
tahun 2009. Selain itu juga tercantum dalam Piagam ASEAN mengenai proses
pembangunan komunitas ASEAN yang melindungi hukum, hak asasi manusia dan
terwujudnya stabilitas dan perdamaian di Asia Tenggara. Institusionalisasi isu
hak asasi manusia merupakan upaya yang dilakukan ASEAN untuk melakukan
penanganan yang lebih serius mengenai krisis pelanggaran hak asasi manusia yang
terjadi di Asia Tenggara. AICHR dihadapkan dengan kecendrungan organisasi pada
norma konservatif akan kedaulatan negara dan prioritas negara anggota akan
investasi asing yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada
perlindungan hak asasi manusia. Salah satu fungsi pembentukan AICHR adalah untuk
memberikan informasi dari negara anggota untuk mendorong promosi dan
perlindungan akan hak asasi manusia.
Dilema penegakan hak asasi
manusia dalam skala kawasan muncul dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan
hukum bagi prinsip non-intervensi yang menjadikan ASEAN tidak memiliki
legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan
pelanggaran hak asasi
manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi terdapat
dalam pasal 2 piagam ASEAN : (e) non-interference in the internal affairs of
ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to leads
its national existence free from external interference, subversion and
coersion. Doktrin ini kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi manusia
dalam lingkup regional dan memungkinkan negara untuk melakukan penyalahgunaan
terhadap perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya pengawasan dan hukuman
oleh ASEAN.
Terkait permasalahan Rohingya
jajaran kementerian luar negeri negara anggota ASEAN telah mengeluarkan pernyataan
sikap pada Agustus 2012, yaitu : (1) mendorong pemerintahan Myanmar untuk terus
bekerja dengan PBB dalam menangani krisis kemanusiaan di Arakan, (2) menyatakan
keseriusan organisasi regional ASEAN untuk menyediakan bantuan kemanusiaan, (3)
menggarisbawahi bahwa upaya mendorong harmoni nasional di Myanmar merupakan
bagian integral dari proses demokratisasi di negara tersebut.[1]
Sekretaris Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan, mengingatkan bahwa isu Rohingya
dapat mengganggu stabilitas kawasan jika komunitas internasional, termasuk
ASEAN, gagal untuk merespon krisisi tersebut secara tepat dan efektif. Surin
Pitsuwan juga mengakui bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar untuk
memberikan kewarganegaraan kepada etnis Rohingya.
Selain itu juga ASEAN sebagai
organisasi regional memiliki tanggung jawab untuk menangani kasus pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar sesuai dengan doktrin Responbility to
Protect (R2P) yang telah diadopsi negara-negara anggota PBB pada United Nations
World Summit 2005. Doktrin R2P ini muncul sebagai respon atas kasus genosida
dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Rwanda. Tiga prinsip mendasar dalam doktrin
R2P tersebut adalah[2]
:
- Negara
memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi penduduk dari genosida,
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis,
- Komunitas
internasional memiliki tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam
memenuhi tanggung jawabnya,
- Komunitas
internasional harus menggunakan cara-cara diplomatik, kemanusiaan dan cara
damai lainnya untuk melindungi penduduk dari kejahatan perang. Jika suatu
negara gagal dalam melindungi penduduk atau menjadi pelaku kejahatan
perang, maka komunitas internasional harus siap untuk mengambil tindakan yang lebih tegas termasuk
penggunaan kekuatan kolektif melalui Dewan Keamanan PBB
Meskipun doktrin
R2P telah diadopsi oleh negara-negara anggota ASEAN, doktrin ini belum diterima
secara penuh di Asia dan penerapannya juga belum dilakukan secara serius.
Khususnya dalam kasus yang terjadi di Myanmar, prinsip non-intervensi dalam
urusan internal negara anggota ASEAN yang tercantum dalam piagam ASEAN
membatasi ruang ASEAN untuk bertindak melakukan penegakan dan perlindungan hak
asasi manusia dalam skala regional. ASEAN tidak mampu untuk melakukan penegakan
hukum terhadap pemerintah Myanmar karena tidak memiliki legitimasi hukum dalam
skala regional yang memiliki kewenangan di atas hukum nasional negara
anggotanya. Meskipun memiliki hambatan ini, ASEAN memiliki mekanisme yang
disebut sebagai ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Intergovermental
Commission on Human Rights (AICHR), yang berkaitan dan dapat digunakan sebagai
mekanisme dalam penerapan prinsip R2P. Negara-negara mayoritas muslim seperti
Indonesia dan
Malaysia seharusnya dapat mengambil peran penting melalui ASEAN dalam
melakukan advokasi atas kasus Rohingya.
ASEAN seharusnya dapat membangun supremasi hukum di atas hukum nasional negara
anggota khususnya Myanmar dalam isu perlindungan hak asasi manusia. Dengan kata
lain konstitusi nasional, hukum perundangan, kebijakan dan tindakan dari negara
anggota ASEAN dapat dikoreksi dan dianulir jika bertentangan dengan tujuan,
prinsip dan kebijakan ASEAN
dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Dalam konteks krisis kemanusiaan
Rohingya adanya pembentukan mahkamah konstitusi ASEAN yang memiliki wewenang
dan otoritas untuk melakukan peninjauan, pembatalan dan amandemen undang-undang
dan kebijakan nasional Myanmar menjadi suatu hal yang sangat penting dalam
upaya perlindungan hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.
ASEAN
kemudian mendorong pelaksanaan doktrin Responsibility to Protect (R2P) dalam
penanganan krisis kemanusiaan Rohingya. ASEAN bekerjasama dengan negara anggota
mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia dapat mengambil peranan penting
untuk mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa muslim Rohingnya.
Selain itu ASEAN diharapkan dapat pro-aktif untuk berdialog dengan negara-negara
perbatasan Myanmar seperti Bangladesh, India dan Thailand dan juga
negara-negara mayoritas muslim seperti Malaysia dan Indonesia dalam menemukan
solusi bersama mengenai nasib ratusan ribu orang pengungsi Rohingya yang sudah
terusir dari Myanmar dan tersebar di berbagai negara. Masalah penyediaan sarana
kehidupan mendasar dan kejelasan mengenai status kewarganegaraan Rohingya
menjadi problem utama yang harus segera diselesaikan.
[1] Statement of ASEAN Foreign Ministers on the Recent Developments in the
Rakhine State, http://www.asean.org/news/asean-secretariat-news/item/statement-of-asean-foreign-ministers-on-the-recent-developments-in-the-rakhine-state-myanmar-phnom-penh-cambodia-17-august-2012,
diakses pada 15 Agustus 2013
[2] Ian G. Robinson and Iffat S. Rahman, The
Unknown Fate of the Stateless Rohingya, Oxford Monitor of Forced Migration
Volume 2, Number 2, pp. 16-20, http://oxmofm.com/wp-content/uploads/2012/11/Robinson-and-Rahman-FINAL.pdf,
diakses pada 16 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar