Nama : Irvand Sahrir
NIM :
1302045089
Kelas : HI Reg B 2013
NON-INTERFERENCE
Secara geopolitik dan ekonomi negara
di kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang strategis. Sehingga sering terjadi
konflik di kawasan itu untuk memperebutkan kepentingan sejak Perang Dunia
kedua. Sebelum ASEAN berdiri, orientasi politik luar negeri negara-negara Asia
Tenggara secara ideologi terpecah yaitu komunis dan non komunis. Belum ada rasa
keterikatan dalam kawasan itu sehingga masih kuatnya kecenderungan untuk menjalin
persekutuan dengan kekuatan asing diluar kawasan. Berkembang suasana
konfrontatif dan saling curiga, seperti pernah terjadi dengan Indonesia dan
Malaysia, konflik Indonesia - Singapura.
ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh lima negara pemrakarsa, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand di Bangkok melalui Deklarasi Bangkok. Awal pembentukannya adalah untuk membendung masuknya komunis lebih jauh ke Asia Tenggara setelah komunis berada di Vietnam. Terbentuknya ASEAN menandai dimulainya rekonsiliasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, konflik – konflik yang terjadi antara Indonesia – Malaysia, Malaysia – Filipina, juga kedekatan Thailand dan Filipina dengan Amerika Serikat dalam perang Vietnam.
Sebagai salah satu bentuk regionalisme, selama ini ASEAN dianggap sebagai salah satu instrumen yang mampu menjaga kestabilan kawasan di Asia Tenggara. Perkembangan ASEAN, yang berpadu dengan kultur politik di kawasan ini, membuat sebuah bentuk baru pendekatan untuk menyelesaikan masalah-masalah transboundary antar anggotanya. ASEAN Way disebut-sebut sebagai bentuk dari upaya negara-negara anggota untuk aktif menyelesaikan persengketaan yang ada tanpa harus melanggar kedaulatan satu sama lain.
Terbentuk dari sebuah deklarasi, awalnya ASEAN adalah organisasi regional yang berusaha berintegrasi dalam sebuah institusi yang berdasarkan pada kerjasama fungsional[4]. Sehingga, ASEAN merupakan organisasi regional non-politik yang secara efektif berfungsi dalam sektor-sektor ekonomi, teknik, keilmuan, sosial dan kebudayaan. Ide utamanya adalah bagaimana membuat suatu institusi regional tanpa mengancam kedaulatan nasional negara anggotanya namun tetap menguntungkan. Mengingat ketika ASEAN terbentuk, mayoritas dari anggotanya adalah negara-negara yang belum lama memperoleh kemerdekaan.
Salah satu alasan yang mendasari pembentukan ASEAN adalah untuk mencegah penyebaran komunisme di kawasan Asia Tenggara. Tanpa membuat suatu organisasi berbentuk pakta militer, founding fathers ASEAN berusaha menciptakan stabilitas keamanan melalui kerjasama non-politik. Tujuan ini diperkuat dengan adanya deklarasi yang dikemukakan di konferensi Bali tahun 1976 yang menyatakan Asia Tenggara sebagai “zone of peace, freedom, and neutrality”. Prinsip-prinsip ini merupakan respon terhadap “ancaman komunisme” yang bisa saja menimbulkan efek domino. kawasan Asia Tenggara perlu diamankan dari kemungkinan instabilitas akibat dari perang dingin yang terjadi. Selain itu, negara-negara barat juga menjadi kalangan yang terancam apabila kawasan Asia tenggara jatuh dalam pengaruh komunis.
Berakhirnya Perang Dingin, tidak membuat integritas regionalisme di ASEAN memudar karena tidak adanya common enemy yang ternyata berhasil memberikan identitas. Hubungan kerjasama antar-anggota menjadi semakin erat dan menjadikan ASEAN sebagai lembaga yang institutionalized. Namun, dengan semakin kompleksnya masalah yang ada di dunia internasional, isu-isu yang sebelumnya bukan masalah penting menjadi sesuatu hal yang patut dipertimbangkan oleh para pemimpin negara anggota ASEAN. Mulai dari masalah yang sifatnya sektoral seperti masalah ekonomi hingga berbagai masalah sosial budaya. Selain itu juga terdapat masalah mengenai keamanan kawasan.
Masalah yang dihadapi ASEAN menjadi semakin rumit dengan tidak adanya mekanisme binding yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang diambil oleh para pemimpin negara. Ketika muncul konflik diantara negara anggota, mekanisme penyelesaian yang berlaku adalah konsensus. Keinginan ASEAN untuk seminimal mungkin melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri, membuat mekanisme konsensus dan musyawarah menjadi pola dalam pengambilan keputusan berskala regional. Pola ini kemudian disebut-sebut sebagai The ASEAN Way.
Tidak adanya mekanisme mengikat esensi dan common value berkurang. Padahal common value merupakan faktor penting untuk membentuk dan mempertahankan identitas regional, serta menjamin negara-negara agar tidak hanya mengutamakan kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan seluruh kawasan. Oleh karena itu, regionalisme akan menghadapi berbagai tantangan dalam menyelesaikan suatu masalah jika common value-nya tidak kuat. Organisasi yang berdiri dari deklarasi terancam masalah legitimasinya sebagai institusi karena tidak ada suatu mekanisme mengikat terhadap perilaku negara-negara anggota.
PRINSIP NON INTERVENSI
Prinsip non intervensi selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan regionalnya, di samping prinsip-prinsip lain seperti saling menghormati, konsensus, dialog dan konsultasi. Prinsip non-intervensi yang selama ini dijunjung tinggi telah banyak memberi kontribusi terhadap eksistensi ASEAN. Pada tingkat yang paling dasar, prinsip ini merupakan wujud nyata penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara anggota. Hal ini amat penting, mengingat sejarah menjelang pembentukan ASEAN yang diwarnai sejumlah konflik antarnegara bakal calon anggota ketika itu seperti disebutkan di atas.
Jaminan pengakuan kedaulatan ini menjadi faktor penting terhadap meredamnya sikap saling curiga sesama negara anggota. Hilangnya sisa-sisa kecurigaan ini selanjutnya membantu tumbuhnya saling percaya yang cukup tinggi antara anggota ASEAN. Hal ini penting, sebab rasa percaya timbal balik menjadi prasyarat eksisnya suatu organisasi regional beranggotakan negara dengan perbedaan kepentingan yang tak terelakkan.
Prinsip ini juga telah berfungsi sebagai mekanisme preventif terhadap munculnya sejumlah konflik terbuka di antara negara anggota ASEAN. Penghormatan terhadap apa yang dianggap menjadi urusan dalam negeri negara anggota lain secara tidak langsung ikut mencegah terjadinya salah persepsi antaranggota. Prinsip non intervensi ini telah memberikan sumbangan yang teramat berarti dalam pengembangan ASEAN sejak berdirinya hingga saat ini.
Seiring dengan perkembangan konstelasi politik global, nampaknya prinsip ini mulai harus ditinggalkan oleh ASEAN. Karena dalam ASEAN Charter disebutkan bahwa tujuan ASEAN ke depan adalah “maintain and enhance peace, security and stability and further strengthen peace-oriented values in the region,” serta to enhance regional resilience by promoting greater political, security, economic and socio-cultural cooperation.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa ASEAN kedepan merupakan suatu entitas yang satu, ini diperkuat dengan jargon ASEAN, One Vision, One Identity, One Community.
Namun dalam kenyataannya nampaknya prinsip ini belum mau ditinggalkan oleh ASEAN, terlihat dari Pasal 2 ASEAN Charter, yaitu menghormati kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, identitas nasional tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN menghargai hak anggota untuk mempertahankan integritas nasional yang bebas dari pengaruh asing serta subversi dan koersi tidak mencampuri dalam kegiatan yang akan berdampak pada kedaulatan dan integritas teritorial negara anggota lainnya, termasuk tidak menggunakan daerahnya untuk kegiatan tersebut penghargaan terhadap kebebasan fundamental serta promosi dan perlindungan HAM serta keadilan sosial.
Dalam berbagai peraturan yang disebut di atas nampak bahwa ASEAN belum akan meninggalkan prinsip non intervensi sebagai prinsip dasarnya. Oleh karena itu, ASEAN tidak dapat mengintervensi pelanggaran-pelanggaran, misalnya pelanggaran HAM, yang terjadi dalam negara anggota ASEAN. Sebagai contoh kasus, prinsip ini akan membuat Badan HAM ASEAN yang dibentuk berdasarkan ASEAN Charter pasal 14[19] tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Karena seharusnya Badan HAM ASEAN mampu bertindak untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi dengan masuk ke negara yang melanggar HAM tersebut dan mengintervensi tindakan yang dilakukan. Sehingga Badan Ham ASEAN ini hanya dapat bertindak dalam lingkup pertemuan menteri luar negeri ASEAN seperti disebut pasal 14 ayat 2.
Keinginan ASEAN untuk menjadi One Community nampaknya akan terhambat karena prinsip ini. Berdasarkan pada konsep integrasi yang diutarakan di atas, kalau ingin mengintegrasikan diri menjadi sesuatu yang lebih besar berarti harus memindahkan kesetiaan yang ada, atau paling tidak mengurangi kedaulatan negara dan memindahkannya ke cakupan yang lebih luas, dalam konteks ini berarti negara-negara anggota ASEAN memindahkan atau mengurangi sedikit kedaulatannya untuk membangun suatu integrasi ASEAN yang lebih bersatu, sehingga One Vision, One Identity, One Community dapat terwujud.
PROSPEK ASEAN
Melihat penerapan prinsip non intervensi selama lebih dari empat dasawarsa yang tetap membuat ASEAN bersatu, nampaknya prospek ASEAN di masa yang akan datang masih akan tetap baik. Hal ini ditambah dengan dibuatnya Piagam ASEAN yang membuat keanggotaan negara-negara anggota semakin terikat. Dalam Piagam ini pun prinsip non intervensi masih amat ditekankan. Prinsip ini memang terbukti ampuh untuk menjaga keutuhan ASEAN. Namun, Tanpa berniat mengurangi kontribusi penting itu, haruslah diakui bahwa memasuki dasawarsa keempat usianya, situasi yang dihadapi ASEAN telah berubah; beragam masalah pun telah timbul. Tak dapat dipungkiri, seiring dengan bertambahnya usia itu, bertambah dan beragam pula persoalan yang dihadapi. Apalagi kini anggotanya sudah bertambah menjadi sepuluh dari awalnya hanya lima.
Akibat dari akumulasi jumlah dan keberagaman masalah yang dihadapi ASEAN, prinsip non intervensi yang selama ini dianggap penting, justru kerap dianggap menjadi hambatan terhadap persoalan-persoalan yang senyatanya memerlukan intervensi dari sesama anggota. Selama ini, dalam konteks hubungan antarnegara anggota ASEAN, jika permasalahan yang terjadi sudah mulai berkaitan dengan masalah dalam negeri, hal itu akan menjadi semacam hal yang tabu bagi negara tetangga lainnya untuk ikut membicarakan solusi pemecahannya dan bahkan ikut terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut.
Adanya tuntutan terhadap ASEAN agar segera mengevaluasi pelaksanaan prinsip non intervensi sudah mulai dihembuskan awal 1990-an. Argumennya, selain karena ASEAN telah berhasil melewati tahap konsolidasi organisasi dan pemantapan kerangka kerja sama organisasi, saatnya telah tiba untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip makro pada langkah-langkah mikro yang lebih bersifat konkret.
Di sinilah muncul tantangan, sebab kebijakan mikro memang acapkali membutuhkan langkah-langkah kompromi terhadap sejumlah prinsip besar, semisal prinsip non intervensi. Apa yang ditunjukkan ASEAN semenjak pertengahan tahun 1990-an ialah keraguan pada sejumlah negara anggota untuk melakukan langkah kompromi terhadap prinsip non intervensi yang telah dianggap berhasil mendukung eksisnya ASEAN.
Akibatnya, terdapat semacam dualisme antara tuntutan mengatasi sejumlah persoalan bersama yang sedang dihadapi di satu pihak dengan kekhawatiran terhadap lunturnya kerja sama ASEAN jika prinsip non intervensi ini ditinggalkan di pihak yang lain.
Soalnya kemudian ialah jika dualisme itu terus berlangsung, maka impian ASEAN untuk mewujudkan gagasan-gagasan besarnya melalui aksi-aksi konkret yang secara nyata menguntungkan negara-negara anggota akan justru semakin sulit terwujud. Padahal, ukuran keberhasilan suatu organisasi semakin tinggi dilihat dari aksi-aksi nyata. Dalam tataran pemikiran demikian, kukuhnya ASEAN memegang prinsip non intervensi justru dapat dilihat sebagai hambatan terhadap kerja sama ASEAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar