Nama :
Muh.Ikvi Zainal Wafa |NIM : 132045082
|Mata Kuliah: HI di Asia Tenggara
A.
Latar
Belakang
ASEAN (Association of Southeast Asia Nations)
merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya dari negara negara
di wilayah asia tenggara. ASEAN berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota
Bangkok, Thailand. ASEAN berdiri melalui Deklarasi Bangkok di prakarsai oleh
lima negara Asia tenggara antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
dan Thailand. Setiap wakil negara pemkrakarsa ASEAN ikut menandatangin
deklarasi bangkok, Indonesia diwakili oleh Adam Malik, Filipina oleh Narciso R.
Ramos, Malaysia oleh Tun Abdul Razak, Singapura oleh S. Rajaratman, dan
Thailand oleh Thanat Khoman.
Berdirinya ASEAN dilatar belakangi oleh beberapa
persamaan yang dimiliki oleh negara-negara Asia Tenggara. Persamaan-persamaan
tersebut antara lain:
1.
Persamaan geografis.
2.
Persamaan budaya.
3.
Persamaan nasib, yaitu pernah dijajah oleh negara asing (kecuali Thailand)
4.
Persamaan kepentingan di berbagai bidang.
ASEAN mempunyai prinsip prinsip utama yang sering
disebut dengan ASEAN WAY, ASEAN WAY
ini adalah suatu kumpulan norma dan cara ASEAN dalam menghadapi setiap masalah
yang timbul dikawasan terlebih bagi setiap negara anggota. Ada lima prinsip
utama yang tertuang dalam ASEAN WAY, yaitu :
a) Konsensus
: dalam pembuatan keputusan
b) Informal Consultation
c) Menghormati Kedaulatan
d) Mengusahakan Perdamaian dalam Penyelesaian
Sengketa
e) Non-Intervensi
Menurut Penulis, Diantara 5 ASEAN WAY diatas yang paling
memilki kelemahan jika diimplementasikan pada Organisasi Regional ASEAN adalah Non-Intervensi. Mengapa Penulis memilih
prinsip tersebut ?
Alasan Penulis memilih Non-Intervensi adalah prinsip
tersebut sangat memiliki pengaruh yang kuat terhadap perubahan di ASEAN
kedepan.
B.
Ketidakmampuan
Non-Intervensi sebagai prinsip ASEAN
1.
Krisis
Kemanusiaan Rohingya
Krisis kemanusiaan yaitu kasus kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas muslim Rohingya di
Myanmar telah menyita perhatian publik internasional. Eskalasi konflik yang
meningkat antara Buddha Arakan dengan muslim Rohingya memberikan gambaran yang
buruk mengenai keseriusan pemerintah Myanmar dalam penegakan hukum dan hak
asasi manusia. Krisis Rohingya ini dipicu oleh insiden pemerkosaan dan
pembunuhan terhadap Ma Thida Htwe (27 tahun), seorang gadis Buddhis Arakan,
yang dilakukan oleh beberapa oknum muslim Rohingya pada Mei 2012. Insiden
tersebut kemudian memicu gejala kebencian terhadap muslim Rohingya di seluruh
daerah Arakan. Beberapa hari setelah insiden itu, masyarakat Buddhis Arakan
membalas dengan memukuli dan membunuh 10 orang etnis Rohingya, dalam satu
insiden pencegatan dan pembunuhan penumpang bus antar-kota, hingga tewas di
Taunggup.
Insiden pembunuhan tersebut menjadi awal bagi
meningkatnya gejala kekerasan yang dan pelanggaran hak asasi manusia yang
dialami oleh muslim Rohingya. Kelompok Buddhis Arakan, didukung oleh pendeta
Buddha lokal dan aparat keamanan Myanmar, melakukan berbagai tindakan kekerasan
secara sistematis terhadap muslim Rohingya meliputi pemukulan, pemenggalan,
pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal, pengusiran dan isolasi
bantuan ekonomi. Berbagai tindakan kekerasan ini digunakan sebagai cara untuk
mengusir etnis Rohingya keluar dari Myanmar. Aksi anarkisme yang dilakukan oleh
masyarakat Arakan ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah Myanmar,
khususnya perlindungan terhadap keberlangsungan hidup etnis Rohingya dan
penegakan hukum terhadap pelaku aksi-aksi kekerasan. Pemerintah Myanmar dinilai
sengaja mengambil kebijakan yang diskriminatif terhadap muslim Rohingnya dan
adanya dugaan upaya pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang dilakukan oleh
aparat keamanan Myanmar kepada etnis Rohingya.
Menurut laporan United Nations Office for the
Coordination of Humanitarian Affairs, sekitar 180,000 orang mendapatkan dampak
dari dua gelombang kekerasan sektarian antara masyarakat Buddhis Arakan dengan
Muslim Rohingya di distrik Arakan Barat pada tahun 2012. Dari jumlah tersebut
140,000 orang masih mengungsi, sebagian besar dari mereka adalah orang Rohingya
yang tinggal di 80 kamp dan shelter pengungsian. Sementara itu sekitar 36,000
orang sisanya tinggal di 113 desa terpencil yang mengalami kesulitan akses
untuk pelayanan dasar. Sejumlah 167 orang tewas dalam insiden kekerasan (78
orang pada Juni dan 89 orang pada Oktober), 223 orang mengalami luka-luka (87
orang pada Juni dan 136 orang pada Oktober) dan lebih dari 10,000 rumah dan
bangunan hancur akibat insiden tersebut.
2.
Prinsip
Non-Intervensi dalam penyelesaian kasus
ASEAN sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip
penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental
Commission on Human Rights (AICHR) pada tahun 2009. Selain itu juga tercantum
dalam Piagam ASEAN mengenai proses pembangunan komunitas ASEAN yang melindungi
hukum, hak asasi manusia dan terwujudnya stabilitas dan perdamaian di Asia
Tenggara. Institusionalisasi isu hak asasi manusia merupakan upaya yang
dilakukan ASEAN untuk melakukan penanganan yang lebih serius mengenai krisis
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Asia Tenggara. AICHR dihadapkan
dengan kecendrungan organisasi pada norma konservatif akan kedaulatan negara
dan prioritas negara anggota akan investasi asing yang lebih mengutamakan
pertumbuhan ekonomi daripada perlindungan hak asasi manusia. Salah satu fungsi
pembentukan AICHR adalah untuk memberikan informasi dari negara anggota untuk
mendorong promosi dan perlindungan akan hak asasi manusia.
Dilema penegakan hak asasi manusia dalam skala
kawasan muncul dikarenakan Piagam ASEAN menyediakan landasan hukum bagi prinsip
non-intervensi yang menjadikan ASEAN tidak memiliki legitimasi dan otoritas
yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran hak asasi
manusia internal negara-negara anggotanya. Prinsip non-intervensi terdapat
dalam pasal 2 piagam ASEAN[8] : (e) non-interference in the internal affairs of
ASEAN Member States, (f) respect for the right of every Member State to leads
its national existence free from external interference, subversion and
coersion. Doktrin ini kemudian menghambat penerapan hukum hak asasi manusia
dalam lingkup regional dan memungkinkan negara untuk melakukan penyalahgunaan
terhadap perlindungan hak asasi manusia tanpa adanya pengawasan dan hukuman
oleh ASEAN.
Terkait permasalahan Rohingya jajaran kementerian
luar negeri negara anggota ASEAN telah mengeluarkan pernyataan sikap pada
Agustus 2012, yaitu : (1) mendorong pemerintahan Myanmar untuk terus bekerja
dengan PBB dalam menangani krisis kemanusiaan di Arakan, (2) menyatakan
keseriusan organisasi regional ASEAN untuk menyediakan bantuan kemanusiaan, (3)
menggarisbawahi bahwa upaya mendorong harmoni nasional di Myanmar merupakan
bagian integral dari proses demokratisasi di negara tersebut. Sekretaris
Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan, mengingatkan bahwa isu Rohingya dapat
mengganggu stabilitas kawasan jika komunitas internasional, termasuk ASEAN,
gagal untuk merespon krisisi tersebut secara tepat dan efektif. Surin Pitsuwan
juga mengakui bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar untuk
memberikan kewarganegaraan kepada etnis Rohingya.
C.
Kesimpulan
Jika dilihat dari studi kasus diatas, Sebagai
organisasi regional di kawasan Asia Tenggara ASEAN seharusnya memiliki lebih banyak
wewenang untuk mengatur negara-negara anggota ASEAN untuk mencipatakan
perdamaian dan keamanan kawasan. ASEAN mungkin akan lebih memiliki hal tersebut
jika ASEAN merevisi prinsip Non-Intervensi yang dimiliki sekarang, Jika ASEAN
berhasil merevisi prinsip tersebut kemungkinan ASEAN akan menjadi salah satu
Organisasi Supranasional yang mapan di dunia Internasional.
SUMBER
DAN REFERENSI
Amitav
Acharya, Constructing a Security Community in South East Asia :ASEAN and the
Problem of Regional Order, London and New York, Routledge, 2001.
Aungsan, Killing of Traveling
Bengali Muslims in Taung-goke, http://www.salem-news.com/articles/august112012/blood-trails-myanmar-tk.php,
diakses pada 3 Januari 2016
Daniel
Aguirre, Human Rights the ASEAN Way, JURIST - Forum, Jan. 10, 2012,
http://jurist.org/forum/2013/01/human-rights-the-asean-way.php, diakses pada 3
Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar