Nama :
Maria Elisabeth Hasugian
NIM :
1302045084
ASEAN WAY
Pascapembentukan
ASEAN, para anggotanya menyepakati seperangkat norma prosedural, yaitu
seperangkat pedoman kerja untuk pengelolaan konflik yang ditetapkan secara
prosedural, yang diperkirakan juga akan mewujudkan semangat ASEAN Way
(Nikolas Busse dalam Goh, hal. 114). Hadi Soesastro (dalam Goh, hal. 114)
mengidentifikasi norma-norma mencari persetujuan dan harmoni, prinsip
sensitivitas, kesopanan, bersifat nonkonfrontasi dan keramahan, prinsip diplomasi
yang tenang, privat, dan elitis melawan public washing of dirty linen,
prinsip non-Cartesian, serta nonlegalistik. Penambahan norma lain ditemukan
dalam Association’s Treaty of Amity and Cooperation pasal 2, yaitu
menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, non-intervensi
dalam urusan internal satu sama lain, penyelesaian sengketa dengan cara damai,
dan penolakan dari ancaman atau penggunaan kekerasan. Nikolas Busse (dalam Goh,
hal. 115) menyatakan bahwa ASEAN Way adalah metode dan norma yang
digunakan oleh organisasi dalam menghadapi situasi konflik di Asia Tenggara.
Penjelasan yang
konvensional dan rasionalis menjelaskan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus
mulai membuka diri untuk membuka diskusi antar anggota untuk membahas isu-isu
baru seperti isu lingkungan maupun ekonomi dengan cara yang lebih efisien.
Konstruktivis menjelaskan bahwa fokus ASEAN berubah untuk lebih “mengglobal”
dalam menghadapi isu demokrasi serta hak asasi manusia. Di dalam pertemuan
rutin, negara-negara ASEAN mulai membicarakan isu-isu yang lebih mengglobal di
dalam perbincangan yang terbuka antar-anggota. Perubahan ini memicu perubahan
norma tradisional ASEAN yang dari awalnya tidak ada intervensi masalah internal
antarnegara ASEAN menjadi intervensi konstruktif. Prinsip non-intervensi ini
tetap diupayakan karena berdasarkan sejarah, ASEAN banyak mengalami
kesalahpahaman ketika harus melibatkan diri pada urusan domestik anggotanya.
Misalnya, ketika ASEAN Summit yang ketiga di Manila, banyak sekali
anggota ASEAN yang mengajukan pernyataan kepada Presiden Filipina, Marcos, dan
Corazon Aqoino, sebagai oposisi, dalam merespon hasil pemilu tahun 1986 yang
akhirnya disebut sebagai ASEAN Joint Statement 1986 (Haacke,
1999:583).
ASEAN Way mendorong negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk mencari cara
untuk bekerja sama secara maksimal dengan cara dialog serta konsultasi.
Thailand kemudian mengajukan proposal flexible engagement pada tahun
1998 sebagai terobosan baru dalam diplomasi di ASEAN[2].
Flexible engagement adalah perbincangan yang dilakukan oleh
negara-negara anggota ASEAN mengenai masalah domestik dan kebijakan internal
anggota ASEAN tanpa ada maksud untuk mengintervensi negara satu sama lain.
Proposal dari Thailand tersebut awalnya tidak diterima oleh negara-negara
anggota ASEAN, kecuali Filipina, karena menganggap proposal tersebut sebagai
pelanggaran intervensi isu domestik suatu negara. Myanmar, Laos, Kamboja dan
Malaysia menyebutkan keberatan dari segi historis yang sudah terlalu
diintervensi oleh pihak eksternal sehingga mereka ingin menyelesaikan
permasalahan sesuai dengan cara mereka sendiri (Ramcharan, 2000:79)..
Flexible
engagement kemudian dianggap mampu mengontrol
anggota ASEAN (Jurgen dalam Haacke, 1999:583). Flexible engagement dalam
kata lain merupakan intervensi konstruktif, yang memperbolehkan adanya
intervensi terutama ketika permasalahan internal berpotensi mengganggu
stabilitas regional, seperti permasalahan keamanan dan kemakmuran. Surin
menyatakan ingin membawa ASEAN ke standar internasional dan meminta beberapa
negara melakukan transparansi dalam rangka memperkuat kredibilitas dan
kapasitas ASEAN dalam melakukan proteksi kepentingan. Argumen-argumen Surin
tersebut memperoleh dukungan dari Amnesti Internasional melalui pernyataan yang
menyambut baik pergerakan di dalam ASEAN karena telah membuka dialog dan
intervensi di antara negara anggota untuk isu-isu seperti kemanusiaan.
Namun
intervensi konstruktif tidak lantas menghilangkan prinsip non-intervensi yang
selama ini telah dipegang teguh oleh ASEAN. Menurut Haacke (dalam Ramcharan,
2000:79), pelibatan dapat dilakukan dalam persepsi: (1) permasalahan tersebut
memberikan ancaman terhadap identitas ASEAN sebagai kelompok regional dengan
anggota negara yang demokratis dan memiliki otoritas; atau (2) permasalahan
tersebut berakibat buruk pada rezim keamanan sebagai akibat dari kekacauan
sosial-ekonomi yang merupakan akibat dari krisis finansial regional. Pemikiran
rasionalis dalam hal ini sangat diperlukan karena keputusan bersama dari
negara-negara ASEAN merupakan hal yang krusial suntuk menyelesaikan suatu
konflik tanpa mengintervensi isu domestik dari masing-masing Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar