Nama : Riski Arianti
NIM : 1302045110
Jurusan : Hubungan Internasional Reg. B 2013
Mata
Kuliah : HI di Asia Tenggara
Sebuah komunitas dalam berbagai
tingkatan cenderung berpandangan yang tidak jarang melihat pula identitasnya.
Termasuk ASEAN, Asosiasi Negara-Negara di Asia Tenggara juga memiliki pandangan
tersendiri yang disebut dengan ASEAN Way. Inti dari pandangan ASEAN Way
merupakan wujud identitas budaya ketimuran, yakni mengedepankan prinsip
musyawarah mufakat sebagai landassan norm and order bagi hubungan antar negara
ASEAN. Selain itu, dengan latar belakang historis oleh hampir seluruh
negara-negara Asia Tenggara yang pernah mengalami penjajahan, maka prinsip
berikutnya yang juga ditekankan adalah prinsip non-intervensi atau tidak turut
campur rumah tangga suatu negara. Hal ini merupakan akibat dari kelangkaan
kedaulatan yang telah dialami oleh negara-negara tersebut selama puluhan tahun.
Beranjak ke ranah aplikasinya, ASEAN Way ternyata memiliki banyak kendala.
Mulai dari persoalan kesamaan identitas regional yang masih diragukan, hingga
kritik-kritik terhadap prinsip ASEAN Way yang menjadi dilematis jika dihadapkan
pada kasus-kasus tertentu di era globalisasi seperti sekarang ini. Maka sangat
wajar sekali jika pembahasan mengenai bagaimana prospek ASEAN di masa datang
menjadi patut untuk dibicarakan. Tulisan ini akan mengulas mengenai maksud dari
ASEAN Way yang berposisi sebagai norm and order, sejauh mana penggunaan ASEAN
Way dalam meminimalisir intervensi asing, apakah ASEAN Way menjadi sesuatu yang
bisa mendorong perkembangan ASEAN dan negara-negara anggota ASEAN, serta
bagaimana prospek ASEAN di masa mendatang.
Menjawab pertanyaan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan ASEAN Way sebagai norm and order, ASEAN Way
berposisi sebagai sudut pandang pada nilai-nilai yang diseragamkan yang
bertujuan untuk menciptakan keteraturan hubungan antar negara ASEAN. Tujuannya
adalah untuk mencegah chaos yang seringkali terjadi dalam kontur masyarakat
multietnis seperti dalam negara-negara kepulauan Asia Tenggara. ASEAN Way juga
dijadikan landasan untuk mengatasi berbagai permasalahan, termasuk meningkatnya
tensi antar negara yang pada dasarnya juga didasari oleh permasalahan etnis,
seperti kasus klaim budaya antara Indonesia dan Malaysia. ASEAN Way menjadi
solusi endemik Asia Tenggara sebagai upaya stabilitator regional.
Salah satu prinsip utama ASEAN Way
adalah non-intervensi. Dalam prinsip ini, ASEAN sebagai sebuah lembaga regional
tidak dibenarkan untuk turut mencampuri terlalu jauh permasalahan-permasalahan
internal maupun bilateral negara-negara anggota ASEAN. Hal ini merupakan
influence dari catatan sejarah negara-negara ASEAN yang hampir semua pernah
mengalami penjajahan, sehingga kedaulatan menjadi hal sakral yang benar-benar
harus diutamakan. Dalam hal ini, prinsip non-intervensi merupakan bentuk
penghormatan terhadap kedaulatan negara. Mengenai efektivitas ASEAN Way dalam
meminimalisir intervensi asing, tidak ada suatu pernyataan pasti dari Acharya (2005) dan Narine (2002), namun jika dilihat dalam kenyataannya, ASEAN Way
tidak terlalu mengambil peran yang besar dalam upaya meminimalisir intervensi
asing, mengingat intervensi asing (yang sering dianalogikan sebagai negara
Barat) masuk melalui jalan kerjasama bilateral langsung dengan negara-negara
anggota ASEAN. Karena prinsip ASEAN Way adalah non-intervensi, maka ASEAN Way
dalam hal ini tidak dapat banyak memengaruhi.
ASEAN Way oleh Acharya (2005) dan Narine
(2002) dinilai memiliki beberapa kelemahan yang fundamental. Yang pertama
adalah mengenai identitas. Negara-negara ASEAN dianggap belum memiliki satu
perasaan identitas regional yang sama, terlebih lagi Narine (2000) mengatakan bahwa belum tercipta identitas nasional
secara utuh mengingat masih banyaknya konflik etnis di beberapa negara anggota.
Narine juga berpendapat bahwa “.. ASEAN identity, therefore, quite
shallow.” Pada intinya, implementasi ASEAN Way terhambat oleh kompleksitas
yang belum terselesaikan dalam urusan internal beberapa negara anggota.
Selanjutnya, hal kedua yang dipermasalahakan adalah prinsip non-intervensi.
Prinsip ini dianggap terlalu utopis jika dikaitkan dengan tujuannya yang
menghormati kedaulatan negara. ASEAN dianggap menjadi sebuah organisasi yang
impoten karena tidak bisa banyak membantu dalam permasalahan-permasalahan area
Asia Tenggara yang akhirnya semakin berlarut-larut. Prinsip non-intervensi
berada dalam titik yang dilematis jika dikaitkan dengan aspek kedaulatan
negara. Jika hal ini dibiarkan, maka ASEAN Way tidak akan banyak mendorong
perkembangan ASEAN dan negara-negara anggotanya sekaligus memiliki prospek yang
tidak gemilang di masa mendatang.
ASEAN Way pada dasarnya merupakan
kekayaan local genius warga Asia Tenggara yang patut dibanggakan. ASEAN Way
dapat dipergunakan sebagai identitas, apabila implementasinyapun berada dalam
proporsi yang tepat. Menganai masalah non-intervensi, ASEAN diharapkan dapat
melihat situasi, sehingga dapat diambil tindakan apabila permasalahan tertentu
memang membutuhkan mediasi dan dianggap masih wajar untuk ‘diintervensi’. Hal
ini bertujuan agar ASEAN tidak hanya memberikan fungsi diplomatik negara-negara
Asia Tenggara dalam dunia internasional, tetapi juga fungsional menyelesaikan
permasalahan-permasalahan regional. ASEAN juga pada dasarnya telah memberikan
keuntungan bergainning position yang bagus bagi negara-negara anggotanya dalam
panggung internasional. Melalui berbagai konferensi tingkat tinggi yang
akhir-akhir ini gencar dilanjutkan, diharapkan membawa inovasi dan dapat
memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang tadi telah dikemukakan.
Khusus mengenai masalah identitas, ASEAN sendiri sedang mengembangkan konsep
ASEAN Community yang menyatukan berbagai warga negara Asia Tenggara dalam satu
payung sosial tunggal. Selain itu, konsep ASEAN Community juga ikut
disosialisasikan melalui media-media sosial sehingga dapat menjaring segmen
yang lebih luas termasuk pemuda. Melihat upaya ini, prospek ASEAN kedepannya
menjadi sangat diharapkan. Namun, hal ini juga tergantung bagaimana ASEAN dapat
menempatkan ASEAN Way-nya secara tepat dan proporsional.
Referensi:
Acharya, Amitav. 2005. “Do Norms and
Identity Matter? Community and Power in Southeast Asia’s Regional Order”, dalam
The Pacific Review, London: Routledge.
Narine, Shaun. 2002. ASEAN in The
Twenty-First Century, dalam Explaining ASEAN: Regionalism in Southeast Asia,
London: Lynne Rienner Publishers Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar