Nama : Shita Udi Fitrizia
NIM : 1202045059
ASEAN (Association South East Asia Nations) merupakan organisasi regional
di kawasan Asia Tenggara yang memiliki norma tersendiri. Sebagaimana layaknya
sebuah organisasi, maka norma yang dibuat harus dipatuhi oleh anggotanya. Norma
yang dibuat oleh organisasi regional Asia Tenggara ini disebut dengan ASEAN Way. ASEAN Way berisi prinsip
non-interfensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mengejar otonomi regional,
serta menghindari collective defense (Khoo,
2004 : 38). Sejak awal berdirinya, prinsip non-intervensi telah diterapkan oleh
anggota ASEAN. Konsep dari prinsip ini adalah tentang persamaan kedaulatan yang
dimiliki tiap negara tanpa terkecuali. Prinsip non-intervensi ini ditujukan
sebagai alat dalam pertahanan nasional, bukan regional. Sehingga, ASEAN
memberikan ruang bagi setiap anggotanya untuk menyelesaikan permasalahan
domestiknya dengan caranya sendiri. Prinsip dari non-intervensi ini tercermin
dalam dokumen ASEAN, Deklarasi Bangkok yang mengindikasikan adanya keinginan
terhadap kerjasama regional dengan tetap menghormati prinsip-prinsip yang ada
pada piagam PBB.
Pada tahun 1971 ASEAN menyatakan
diri sebagai wilayah damai, bebas, dan netral/ZOPFAN (The Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Freedom dalam ZOPFAN juga dimaksudkan sebagai kebebasan yang berhak
diperoleh oleh setiap anggota untuk tidak diinterfensi mengenai permasalahan
domestik mereka. Interfensi disini bisa diartikan dalam hal kemerdekaan atau
independensi serta integritas negara itu sendiri (Ramcharan, 2000: 65). Prinsip
non-interfensi ini didasari oleh pengalaman pahit saat masa penjajahan. Maka
dengan demikian, konsep ZOPFAN mengakui hak dari setiap negara, baik kecil
ataupun besar, untuk memimpin eksistensi nasionalnya yang bebas dari intervensi
luar terhadap isu-isu domestik. Karena dikhawatirkan interfensi ini akan
mengganggu kebebasan, kemerdekaan dan integritas ASEAN menginginkan netralitas
di regionalnya.
Seiring dengan berjalannya waktu,
penerapan prinsip non-intervensi ini dianggap terlalu kaku sehingga kerap
dikritik oleh dunia internasional. Pada akhirnya muncul gagasan untuk melakukan
pelembutan terhadap prinsip tersebut, yakni dengan konsep alternatif seperti constructive intervention, flexible engagement, atau enhanced interaction. Konsep alternative
ini merupakan adaptasi dari kejadian-kejadian yang menimbulkan dilemma dalam
menerapkan prinsip non-intervensi ini. Seperti misalnya ketika terjadi
perselisihan yang terjadi dekat dengan batas teritorial, negara-negara yang berbatasan
langsung dengan wilayah konflik ini tidak dapat berbuat apa-apa karena takut
dianggap melanggar prinsip non-intervensi. Seperti yang terjadi pada saat
Myanmar ingin menjadi anggota ASEAN. Myanmar yang merupakan negara dengan junta
militernya tentu memiliki banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia disana. Akan
tetapi, negara-negara anggota ASEAN lainnya tidak mampu berbuat banyak untuk
mengurangi pelanggaran Hak Asasi Manusia di Myanmar karena adanya prinsip
non-interfensi. Hal ini menjadikan Thailand, yang berbatasan langsung secara
darat dengan Myanmar, menjadi khawatir akan terjadi ketidakstabilan di
negaranya. Sehingga Thailand hanya bisa melakukan kebijakan constructive engagement terhadap rezim the State Peace and Development (SPDC)
di Yangon, Myanmar pada 1992 yang akhirnya gagal dan Myanmar masuk menjadi
anggota ASEAN (Ramcharan, 2000 : 68). Oleh karena itu, semakin lama,
pelaksanaan ASEAN Way semakin
dipertanyakan, khususnya prinsip non-interfensinya yang dirasa menyulitkan
negara lain. Namun keberlangsungan ASEAN Way masih diperdebatkan hingga
sekarang mengingat keefektifitasannya yang sudah berulang kali dipertanyakan
oleh anggota maupun internasional, sehingga negara-negara anggota ASEAN harus
mampu meratifikasi ASEAN Way sesuai dengan tuntutan zaman
Dalam tulisan ini, penulis
berpendapat bahwa konsepsi non-intervensi masih diperlukan dalam organisasi
regional, bahkan internasional sekalipun. Menilik dari sudut pandang realis,
bahwa setiap negara memiliki kedaulatannya masing-masing yang tidak dapat
dicampuri begitu saja oleh negara lain. Walaupun konsepsi ini kaku, namun akan
lebih baik jika konsep ini diturunkan lagi menjadi premis-premis yang mengatur
segala tindakan yang berhubungan dengan “turut serta” permasalahan domestik
negara lain. Ketika suatu negara memiliki permasalahan domestik, dan
permasalahan itu tidak mengganggu stabilitas kawasan, maka biarkanlah negara
tersebut menyelesaikan permasalahannya. Yang terpenting dalam konteks
intervensi ini adalah penghormatan terhadap privasi. Ada negara yang tidak
ingin diusik privasinya dalam menangani negaranya oleh negara lain, dan ada
pula yang justru meminta negara lain untuk masuk ke negaranya demi
menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Memang muncul anggapan dengan adanya
non-intervensi tersebut, ada kurang kepercayaan antar satu sama lain anggota.
Namun, privasi adalah hal yang memang dimiliki tiap orang atau dalam hal ini
Negara dan patut untuk dihormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar