Nama : Wiwin Rahmah Sari
Nim : 1302045148
Efektifitas Prinsip
Non-Intervensi ASEAN Way Dalam Upaya Penyelesai Konflik Regional
Association
of Southeast Asia Nations terbentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh
kesepakatan 5 negara Asia Tenggara dalam pertemuan mereka di Bangkok, Thailand
pada masa Perang Dingin, setelah kegagalan pembentukan SEATO (Southeast
Asia treaty Organization) badan pertahanan regional pertama di Asia
Tenggara yang dibubarkan karena terdapat konflik internal yang rumit (Suryadinata,
1998), dan ASA (Association of Southeast Asia). ASEAN berfokus dalam
hubungan kerjasama untuk mempromosikan kedamaian serta kesejahteraan kawasan
dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, militer, dan sosial budaya.
Sejak awal pembentukannya 36 tahun silam, ASEAN telah
mengembangkan budaya diplomasinya sendiri, yang bersumber pada nilai-nilai
budaya Timur yang lebih mementingkan harmoni dan menghindari konflik. Sejak
didirikannya melalui Deklarasi Bangkok tahun 1967, bangsa-bangsa Asia Tenggara
yang tergabung dalam ASEAN mengembangkan apa yang disebut sebagai "the
ASEAN spirit" atau "the ASEAN way". Semangat atau cara ASEAN ini
antara lain mencakup prinsip untuk menyelesaikan segala persoalan dengan cara
damai, melalui dialog, dan menghindari penggunaan kekerasan atau pemaksaan
kehendak.
Sebagai bentuk kerja sama regional, terdapat banyak sekali
permasalahan yang dapat menjadi sebuah pemicu permasalahan baru jika sedari
awal tidak dibuat ketentuan yang mengatur setiap negara yang ada. Disinilah
ASEAN Way berperan, seperti yang dikatakan oleh Khoo, pada dasarnya ASEAN Way memuat
norma-norma yang mengatur segala tindakan setiap aktor negara. Misalnya, norma
non-intervensi yang mengatur bagaimana kerja sama ASEAN tidak ‘menghalalkan’
ikut campur berlebih dalam permasalahan internal, dan norma non penggunaan
angkatan bersenjata yang membuat setiap negara dalam kawasan Asia Tenggara ini
bersama menghindari konflik yang mengancam keamanan.
Pada dasarnya, ASEAN Way menggunakan metode manajemen konflik didasarkan
pada musyawarah dengan tujuan agar tidak terdapat pihak hegemon tertentu yang
mendominasi. Dalam catatan sejarahnyam, ASEAN Way telah ‘menelurkan’ satu
produk ASEAN dalam menangani isu keamanan, yaitu Zone of Peace Freedom and
Nationalis (ZOPFAN). Dimana ZOPFAN bertujuan untuk menjaga stabilitas keamanan.
Selain itu ASEAN Way juga diterapkan ketika terjadi konflik di wilayah
Indochina yang melibatkan Kamboja, Thailand serta Vietnam tahun 1979, dimana
Vietnam yang mengambil alih pemerintahan kamboja dengan menggulingkan rezim Polpot
dianggap telah melanggar prinsip non-intervensi. Penyelesaian dilakukan melalui
pertemuan Jakarta Informal Meeting yang berlangsung selama dua kali dan
berhasil memberikan dampak yang positif, yang mana kemudian berujung pada
penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja.
Perlu adanya perbaikan yang harus dilakukan pihak ASEAN dalam penerapan
ASEAN Way. Hal ini dapat dilihat dari keefektifan ASEAN Way dalam menyelesaikan
konflik dan menghindari terjadinya konflik. Banyak pihak yang pesimis akan
keberhasilan ASEAN Way, menurut saya hal ini dikarenakan pandangan bahwa ASEAN
Way hanya sebuah kumpulan norma dan prinsip, tidak dibekukan menjadi sebuah
hukum regional yang memiliki legitimasi untuk mengatur tindakan negara secara
tegas. Penyempurnaan dilakukan bermula pada ASEAN Ministerail
Meeting ke-21 di Manila. Thailand, didukung Filipina, mengusulkan kebijakan
“Flexible Engagement”. Alasan Thailand, masalah domestik anggota ASEAN bukan
lagi melalui masalah dalam negeri, tetapi sudah berdampak regional.
Fleksibelitas hubungan yang terjadi diantara anggota ASEAN harus
senantiasa menghindarkan intervensi pihak asing yang dapat mempengaruhi
dinamika hubungan negara-negara ASEAN (Haacke, 1999: 584). Sesuai dengan
pernyataan Haacke, banyak pengamat menilai keberhasilan ASEAN sejauh ini harus
ada perbedaan antara kemandirian regional dari intervensi asing. Permasalahan
yang kemudian muncul adalah akibat dari globalisasi yang membuat batas pembeda
antara isu domestik dan isu internasional begitu kabur. Isu seperti Hak asasi
manusia dan demokrasi mungkin terjadi dalam tingkat domestik negara, namun hal
ini telah menjadi salah satu isu low politic bagi semua negara. Keadaan ini
membuat prinsip non-intervensi dari ASEAN Way menjadi sebuah bentuk ambiguitasan
tersendiri. Dalam hal ini penerapan prinsip non-intervensi secara tegas mulai
menjadi tidak relevan.
Prinsip ini harus diartikan menjadi cara yang lebih fleksibel.
Pernyataan Menlu Thailand Surin Pitsuwan dalam artikel Ramcharan (2000:75) juga
sesuai dengan prinsip ASEAN mengenai non-intervensi perlu diganti dengan
intervensi yang konstruktif. Dalam artian ini, perlu adanya intervensi ketika
terjadi permasalahan di suatu negara yang berpotensi mengancam kestabilan
regional suatu kawasan.
Kasus Myanmar sebenarnya menjadikan
ASEAN tidak berubah pasca
diratifikasinya ASEAN Charter tanggal 15 Desember 2008 lalu. Hingga saat ini,
ASEAN sebetulnya hanya ”membuat suatu proses” dari pada mencapai suatu kemajuan
dalam penegakkan HAM dan Demokrasi. Di satu sisi ASEAN ingin menjadi dirinya
sendiri sebagai institusi yang terintegrasi, namun disisi lain masih belum dapat
mengubah prinsip kedaulatan dan non-intervensi.
Kesenjangan ini jelas merupakan hambatan
bagi ASEAN untuk berpindah dari posisinya saat ini, terutama untuk menerapkan
prinsip-prinsip baru terutama dalam hal menegakkan demokrasi dan HAM. Karena
itu, ASEAN Charter tidak lebih dari sekedar rekonfirmasi ASEAN yang ”lama”
didalam suatu kemasan yang baru (The old wine in the new bottle).
Banyak
pihak sepakat untuk melakukan intervensi atau terlibat hanya dalam
keadaan-keadaan tertentu misalnya saat terjadi permasalahan yang dapat
memberikan ancaman terhadap identitas ASEAN sebagai organisasi regional dimana
negara yang demokrastis dan otoritas dapat muncul secara bersamaan; atau
permasalahan yang dapat berakibat buruk pada rezim keamanan yang sebelumnya
telah berada dalam bahaya sebagai akibat dari kekacauan sosial-ekonomi yang
merupakan akibat dari krisis finansial regional (Ramcharan, 2000: 79). Komitmen
dan saling percaya antar negara anggota merupakan suatu dasar untuk menerapkan
perubahan ini. Ketika ASEAN sudah berhasil mencapai tahap integrasi yang utuh,
maka prinsip intervensi konstruktif dalamASEAN Way seharusnya bukan merupakan
sebuah hal yang bukan tidak mungkin lagi bagi ASEAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar